Minggu, 24 Mei 2009

.Syariat Dalam Perspektif Makrifat Jawa

۞.Syariat Dalam Perspektif Makrifat Jawa

Bagi tasawuf jawa Al Qur’an terbagi atas dua macam pertama qur’an garing (kitab garing) dan kitab teles (kitab basah). Kitab garing adalah kitab al Qur’an yang tertulis sebagai petunjuk dalam memahami ayat-ayat Tuhan. Kitab basah adalah al Qur’an yang terdapat didalam hati. Kedudukan kitab basah derajatnya lebih tinggi, juga kedudukanya karena ia menyangkut ayat-ayat semesta, dan sebagai sumber untuk memahami makna kehidupan. Posisinya atas kitab basah, kitab kering berfungsi sebagai lampu penerang, agar kitab basah dapat berfungsi dengan baik dan tidak berjalan dalam kegelapan.

Kitab suci yang kering, hanyalah sebagai tanah kosong yang perlu di cangkul, dipupuk dan ditanami. Untuk itulah diperlukan kitab suci basah, atau yang terdapat dalam diri manusia. Kitab suci sebagai formaslisme syariat yang harus menemukan benih yang tepat, yakni hati yang bersih, dan penanam yang tepat pula. Itulah sang salik, yang hatinya bersih, dan segenap jiwanya diarahkan kepada Allah. Hal ini menjadi salah satu berimbangan antara syariat dan makrifat. Berikut penulis petikkan dari serat nitisruti pupuh dhandhanggula bait 11~14 karya sunan kajenar yang terjemahanya sebagi berikut:

“” Maksud ajaran yang permulaan mengenai kududukan uluma, bilamana sudah benar sesuai penempatanya, jujurnya perasaan didalam hati tiada tabir, karena sudah waspada kedudukanya yang di sembah dan yang menyembah, menjadi biasa dalam keberadaan sejati, menjadi mulia yang sebenarnya, selarasnya yang demikian itu sebenarnya, tidak terbuka dalam hati manusia, yang tanpa pengetahuan, dan yang masih bodoh, sungguh bodoh pemikiranya, oleh karena itu haruslah, hati terus berusaha, mengambil teladan guru, kepada para ulama yang mahir, sebagai kemuliaan sejati. Maksud rasa hati yang sudah sampai pada kebenaran, kotoran diri sudah sirna, mencegah segala yang tidak baik, bagaikan tubuh yang cantik, yang demikian itu bilamana, sudah sampai luar dalam, akhirnya selaras bersih tak bercampur, dalam dalam suasana yang indah yang di sebut benar-benar sirna sifat manusiawinya. Jelas sekali sebenarnya yang demikian itu sudah tak ada gusti dan hamba, karena sudah sirna rasanya, sedangkan yang tidak tau ,pengetahuan yang diuraikan, tak dapat diceritakan bagaimana cara hidupnya, sudah penuh bisa, hanya kedurjanaan yang dilakukan, lain halnya bagi yang sudah kokoh budinya...””

Pupuh diatas sangat mewakili ajaran mistik dan makrifat islam jawa. Terutama yang di sebarkan oleh sunan kajenar dan sunan kaliajaga. Mistik makrifat yang secara mudahnya berarti “inisiasi” adalah praktek kontak spiritual langsung dengan Tuhan melalui kontemplasi atau pengalaman psikologis. Oleh karenanya rahasia dan rasanya hanya dapat dirasakan oleh pelakunya saja, dan masing-masing pelaku ( salik ) akan selalu memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Namun secara jelas dan tegas dapat dinyatakan bahwa tanpa laku, tanpa penghayatan langsung dan nyata, maka keadaan yang sesungguhnya dari pengalaman keagamaan, rasa agama (al-halawat al-iman), atau apa pun namanya dari buah lelaku tersebut niscaya tidak dapat dirasakan dan tidak bisa diperoleh.

Demikian pula pengetahuan keagamaan sedalam apapun tidaklah bisa disebut sebagai makrifat. Mendalamnya ilmu syariat juga belum bisa tentu sanggup mengantarkan pemilikannya sampai pada kemakrifatan. Mungkin mereka mengetahui tentang Tuhan. Ia tahu segala sifat-sifatnya melalui buku dan guru. Karena mereka tahu tapi tidak pernah kontak, maka hasilnya juga menjadi kurang benar. Maka dalam makrifat di butuhkan lelaku. Dalam bahasa sufi, makrifat merupakan buah dari perjalanan, suluk, seorang hamba kepada Tuhannya. Dari proses perjalanan itulah maka akan tercapai makrifatullah. Dan di ketahui secara jelas apa itu sangkan paraning dumadi( inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).

Dalam hal ini syariat bukanlah sekedar aturan-aturan formal keagamaan, yakni yang sering hanya dibatasi sebagai fiqih. Sekarng ini kata-kata “syariat islam” telah direduksi oleh para agamawan hanya sebatas fiqih, aturan formal keagamaan yang dibakukan dalam berbagai karya hukum keagamaan oleh manusia. Fiqih sebenarnya hanyalah produk perjalanan ulama dalam sejarah islam, bukan syariat itu sendiri. Sedangkan syariat dalam tataran makrifat adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan.

Adapun cara untuk menempuh laku syariat itu di sebut sebagai terekat, yang tentu terkait dengan masing-masing tempat, zaman, tradisi dan budaya yang berbeda.praksisme keagamaan inilah yang pernah diusung oleh parah tokoh sufi jawa pada abad ke 15 yang lalu.dalam hal ini bahwa syariat baru menjadi berarti setelah dilalui melalui proses tirakat atau lelakon. Dalam melakukan hal tersebut, maka yang pertama kali harus diperhatikan adalah upaya untuk melongok kedalam diri sendiri atau introspeksi. dalam hal inilah diperlukan adanya laku untuk mengendalikan hawa nafsu. Tahapan utama untuk ini adalah khalwat, tahannuts atau meditasi (menempuh laku heneng dan hening). Jika prose ini berhasil maka akan mengantarkan pelakunya untuk mendapatkan apa yang ia sebut sebagai inspirasi spiritual dan sebagainya. Dari ilham yang di peroleh maka akan melahirkan berbagai pengetahuan baru dan perilaku-perilaku yang berasas pada keluhuran budi sebagai buah ber-musyahadah (menyaksikan dan berkontak langsung dengan Allah), Atau buah iman. Dengan demikian maka kita berjalan menuju kepada –nya, kita menyatu dengan-nya, dan kita telah membangun sikap hidup yang berdasarkan kehendak Tuhan itu sendiri......

Dalam sistimatika makrifat jawa persoalan sholat mendapatkan perhatian cukup penting. Dalam hal ini, yang cukup signifikan untuk dibahas pada tempat ini adalah yang berkaitan dengan tiga hal pokok, yang sering mendatangkan kontraversi, yakni tentang sholat tarek, sholat daim, dan tentunya, terkait dengan hal tersebut adalah tentang adanya sholat. Dalam qur’an sholat dikategorikanmenjadi dua seperti firman Allah SWT: “Peliharalah semua sholatmu dan sholat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam sholat) yang khusyu’ “ ( QS. AL-Bagarah/2:238).

Dalam sistem islam jawa makna sholatmu” dalam ayat tersebut mengacu pada sholat syariat atau lahir, dan sholat wustha pada sholat hati. Secara lahir sholat dilakukan dengan berdiri, membaca al-fatihah, sujud, duduk dan sebagainya, yang melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah sholat jasmani dan fisikal karena semua gerakan badan berlaku dalam semua sholat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawati (segala shalat), yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.

Bagian kedua adalah shalat wustha. Yang di maksud secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah ,yakni di tengah”diri”, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan sholat ini adalah untuk mencapai kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah, antara kanan dan kiri, antara depan dan belakang, antara bawah dan atas, dan antara baik dan jahat. Hati menjadi titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga di ibaratkan berada diantara dua jari Allah, dimana Allah membolak-balikkan kemana saja yang ia kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat yang Maha Menghukum dan Mengazab dengan sifat yang indah, yang kasih sayang, yang lemah lembut.

Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah shalat serta ibadahnya hati, kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyu’, maka jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi kedamaian yang didambakan akan hancur pula. Apalagi sholat jasmani hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyu’. Kalau hati tidak khusyu’, serta tidak dapat konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut shalat. Juga tidak akan dipahami apa yang diucapkan, dan tentu apapun yang di lakukan dengan bacaan dan gerakanya tidak akan mengantarkan sampai kepada Allah.

Urgensi kekhusukan itu berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam shalat, tidak perduli akan makna rohani sholat, shalat yang di lakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apapun. Sebab semua yang di lakukan jasmaninya sangat tergantung kepada hati sebagai zat untuk badan. Ingatlah sabda Rasulullah :” ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati...”

Kekhusukan hati akan membawa shalat yang menghasilkan kesehatan hati. Shalat khusuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak,yakni hati yang tidak dapat hadir kepada Allah. Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal: tempa, waktu, kesucian badan, pakaian dan sebagainya, maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalul dilakukan terus-menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk rohani ada didalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang berzikir dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa rohaniah. Imamnya dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. Inilah shalat daim yang di ajarkan oleh guru saya yang memperoleh ajaran ini dari para orang bijak seperti sunan kajenar dan sunan kalijaga dan sebagainya..

Nah, shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur dan tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tidur. Inilah tahapan orang-orang yang sudah mencapai makrifatullah, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu ia ada tanpa dirinya, karena dirinya telah fana’ telah hilang lenyap. Ingatanya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah. pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut, tidak ada lagi gerakan berdiri, sujud, rukuk dan sebagainya. Dia telah telah berbincang-bincang dengan Allah.sebagaimana firman Allah:” Hanya engkau yang kami sembah, dan hanya kepada engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS Al-Fatihah/1:5).

Friman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni mereka yang telah mengalami beberapa tingkata alam rasa dan pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau keesaan Allah dan berpadu denganya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun, mereka pun sering tidak mau mengungkapkannya, tidak ingin membocorkan rahasia ketuhanan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah. hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semat-mata ucapan ‘Allahu akbar”. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah untuk memuji kebesaran Dzatnya.

Jadi takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hambanya. Bukan hasil dari dorongan emisional. Karenannya. Takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. dan takbir sejati adalah penyebutan namanya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir yang demikian itu, maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada hanya Allah. kemanapun kita menghadap yang ada hanya wajah Allah. maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, Roh dan Hati seperti yang tergambar itu. Membawanya msuk kehadirat Allah, hatinya berpadu mesra dengan Allah. dalam alam nyata ia menjadi hamba yang alim dan wara’. Dalam alam rohani ia menjadi hamba yang ma’rifah yang telah sampai pada tingkatan kesempurnaan mengenal Allah. inilah makna bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah perilaku keji dan moral. Sebaliknya menghasilkan kehalusan dan kemuliaan budi dan perilaku. Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fiqih sebagaimana tampak pada kebanyakan manusia dewasa ini. Sholat yang tidak tau makna hakikatnya mendapat kritik tajam dari sunan kajenar sebagai berikut: ” syahadat, shalat, puasa semua tanpa makna termasuk zakat dan haji ke mekkah itu semua telah menjadi palsu tidak bisa di jadikan panutan hanya menghasilkan kerusakan bumi membohongi makhluk lain, hanya ingin surga kelak orang bodoh mengikuti para wali sementara kenyataanya sama saja belum mencapai tahapan hening”

Sunan kajenar mengkritik pelaksanaan hukum fiqih pada masa kerajaan demak. Karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan arti dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang menina bobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak, yang belum ada kenyataanya. Oleh karenannya. Para tokoh sufi jawa dan para sufi lainya yang sudah benar-benar mencapai tahapan ma’rifah mengajarkan shalat yang fungsional. Berbeda dengan para ulama yang hanya mengandalkan hukum fiqih semata. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syariat, dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai seluruh budi pekerti kehidupan. Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesioanalnya secara benar, disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut telah melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat daim. Sunan kalijaga pun memiliki wejangan shalat daim sebagai berikut:

terjemahannya “””” wahai anak cucuku, setiap engkau menyelesaikan shalat lima waktu, segeralah mendirikan shalat daim, shalat kekal, shalat wustha. Mensucikan diri tanpa air melainkan dengan bacaan istighfar yang senilai suci. Caranya tanpa rukuk dan sujud, melainkan dengan serba merasa diri menghadap, mengabdi kepada Tuhan yang maha suci dikala engkau sedang diam, bergerak dan bekerja apa saja. Syaratnya hanya satu: niat menghambakan diri secara sempurna kepada Allah, dengan memberikan kebajikan kepada orang lain. Itulah wahai anak cucuku, jalan mencapai saat kematian sejati, memperoleh akhir hidup yang sempurna dikaruniai rahmat Allah.

Jadi shalat daim tidak terbatas oleh waktu, keadaan atau batasan-batasanyang lain. Dalam sulik linglung sunan kalijaga menegaskan bahwa shalat daim dilaksanakan tanpa menggunakan air wudhu untuk menghilangkan najis dan hadas, shalat daim merupakan shalat batin yang sebenarnya. Shalat yang seseorang di dalamnya boleh dengan makan, tidur, bersenggama, maupun buang kotoran.

Sunan Bonang pun memiliki ajaran shalat daim sebagai berikut: “” Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat isa atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila di sebut shalat, maka itu hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama.””

Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya di lakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagaman. Sementara shalat daim merupakan shalat yang sebenarnya, yakni kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Yang Maha Agung di dalam diri-nya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah tindakan sembahnya. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk tidak menebar kekejian dan kemungkaran. Mampu menghadirkan ramatan lil ‘alamin.

Dalam sukuk wujil Sunan Bonang pun memberikan penjelasan tentang makna shalat.
“”Janganlah menyembah wahai engkau wujil, jika tidak kelihatan nyata. Sembah dan pujian tidak ada gunannya. Bila yang disembah itu jelas ada dihadapanmu, (maka engkau) mengerti adamu sebagai Yang Maha Agung, adamu sendiri tidak ada. Itulah yang dinamakan daim pada orang yang memuji, menjadi nyata kehendak purba.””

Orang yang melaksanakan sembahyang, akan tetapi tidak bisa mengarahkan ibadahnya tersebut kepada pengetahuan akan Tuhan, dalam ajaran suluk islam jawa dianggap sia-sia. Demikian pula jika shalat hanya dimaksudkan untuk sekedar mendapatkan pahala, maka hal tersebut sia-sia. Orang yang menyembah harus mengetahui benar siapa yang disembah.

Dalam suluk wujil Sunan Bonang berkata:
“” Manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa yang disembah di dunia ini, engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya ditebar tak ada satupun yang mengenai burung sasaranya. Akhirnya, Cuma menyembah adam sarfin, penyembahnya menjadi sia-sia tidak ada gunanya.””

Dalam serat Wedhatama di sebutkan bahwa shalat merupakan sembah raga, yang pelakunya baru disebut magang, agar ia dapat menjalankan penyembahan pada kualitas yang lebih tinggi. Dalam tasawufnya di sebut sebagai riyadhah( latihan ). Adapun tujuan dari sembah raga adalah untuk memperoleh kondisi badan yang lebih sehat dan segar. Agar shalat daim/Dzikr yang dilaksanakan dapat mencapai sasaran yang optimal, maka pelaksanaanya harus dengan sepenuh hati dan pikiran, serta semua daya hanya ditujukan kepad Allah. hal tersebut dinyatakan salam suluk supanalaya, bahwa dzikr harus dengan amuntu hakikat.

Yakni dengan mengheningkan cipta dan merenungkan hakikat Tuhan disertai dengan hati yang penuh dengan kerinduan atau hidayat Tuhan. Jika kinerja tersebut terdapat penyertaan dari Allah yang berupa diberikanya rahmat serta hidayahnya, maka dipastikan orang tersebut akan bisa manunggal dengan Allah. apa yang diciptakan terjadi, dan yang dikehendaki terlaksana. Selemat merenungkan galilah wawasan dari mana saja datangnya untuk pengetahuan.

Wassalam jack kalijaga

Hakikat Pencari Illahi

۞.Hakikat Pencari Illahi

Apa yang dalam khasanah islam diebut sebagian sufi sebenarnya adalah mereka yang dalam kehidupan bergabung dengan kafilah pencari illahi. Sufi atau pencari illahi adalah orang yang menempuh perjalanan rohani menuju hakikat dengan cinta dan kesetiaan. Dia mengetahui bahwa perwujudan hakikat hanya mungkin bagi orang yang sempurna (al insan kamil). Sebab dalam keadaan cacat rohani, manusia tidak dapat memahami hakikat. Sebab kecacatan rohani akan menyebabkan kesalahan dalam memahami hakikat dan tidak menyadarinya.
Dalam pandangan seorang pencari illahi, apa yang dikenal “”sebagai nafsu yang memerintahkan kepada kejahatan””(al-nafs al-ammarah), yang bersemayam dibawah alam sadar, benar-benar mengendalikan dan menguasai pikiran serta perilaku setiap orang. Akibatnya daya pilah seseorang diselubungi hasrat dan daya tarik ‘nafsu yang memerintahkan kepada kejahatan’ itu, sehingga pemilahanya dengan sendirinya menjadi gagal.
Jadi, seorang pencari illahi adalah seorang yang menjalankan rohaninya dengan segenap kesucian dan kebersihan menuju puncak perjalanan, ya itulah Allah. dengan cara mengesampingkan segala hal yang selain Allah (ghairullah) sambil terus berjuang mengendalikan hawa nafsunya. Termasuk dalam proses kehidupan duniawi ketika berinteraksi dengan banyak manusia yang sebenarnya adalah ‘diri kita’ dalam bentuk wadah tubuh yang berbeda.
Dalam hal ini kita bertemu dengan konsep keagamaan murni yang diinginkan sunan kajenar bahwa semua tindakanriil kita antar sesama manusia harus merupakan wujud dari refleksi keimanan kepada Tuhan. Sunan kajenar juga berbeda dalam menerjemahkan makna zakat. Menurutnya zakaat tidak terfokus pada pengeluaran 2,5% dari harta yang kita punya. Ketika seseorang merasa punya harta dan menemukan orang yang patut dibantu maka dia harus segera mengeluarkan sebagian hartanya. Itulah yang dia sebut zakat. Jadi zakat baginya tidak tergantung pada waktu (setahun sekali ) dan jumlahzakat yang mesti di keluarkan menurut aturan fiqih. Namun merupakan hal yang sangat urgent dan fungsional bagi interaksi manusia yang dipenuhi dengan hasrat ke-illahian.
Lebih lagi, mereka adalah orang yang memiliki kemurnian kesadaran dan luasnya spiritual rohaniah serta kecemerlangan hati. Sehingga dengan limpahan nurullah, mereka memiliki ma’rifat yang sempurna dari Allah dan tidak memiliki penolong selain Allah. oleh karenannya segala hal yang menimpa mereka secar fisik tidak mengetarkan semangatnya dalam mengapresiasikan Tuhan dilingkungan dunia manusia. Wajar saja walaupun dihadapkan pada ancaman nyawa sekalipun, mereka tidak pernah bergeming dari sikap nyata itu. Hal ini sudah terjadi pada tokoh sufi martir seperti abu manshur al-hallaj, syuhrawardi al-maqtul,’ayn al-quddat al-hamadani, syekh siti jenar, syekh amongraga, ki baghdad, kiai babeluk, syekh mutamakin dan sebagainya.
Jadi para pencari Tuhan adalah mereka yang memurnikan hati dalam berhubungan dengan makhluk-makhluk lain, meninggalkan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani, mengambil sifat-sifat ruh, mngikatkan pada ilmu-ilmu hakikat dan hikmah, menasehati seluruh manusia, dan mengarahkan satu tujuan hanya pada Tuhan dalam ikatan kesetiaan atas visi rasulullah. Pada sisi inilah konsepsi Nur Muhammad menemukan relevansinya bagi kehidupan manusia.
Seorang sufi besar Dzun Nun Al-Misri menegaskan bahwa kehidupan sufi ditegakkan atas empat tonggak: 1. tidak bergaul dengan Allah kecuali dengan muwafaqah (menyesuaikan dengan-Nya). 2. Tidak bergaul dengan makhluk kecuali dengan munashahah ( saling menyayangi dan memberi nasehat). 3. Tidak bergaul dengan nafsu kecuali dengan mukhalafah (membantah dan mengendalikanya). 4. Tidak bergaul dengan setan kecuali dengan muharabah (memusuhi dan memerangi). Sehingga dunia ini menjadi ajang bagi fungsionalisasi raga untuk keakhiratan. Dalam istilah sunan kajenar, dunia justru menjadi alam kematian yang harus ditinggalkan agar memperoleh kehidupan sejati di alam kehidupan yang sesungguhnya. Penulis dengan sadar banyak yang belum bisa menerima pendapat ini. Sama dengan pengalaman penulis sendiri pada awalnya memang tidak bisa di cerna dengan kedangkalan kita. Tetapi dengan keteguhan jiwa ingin mencari kebenaran sejati, lambat laun ternyata sang pembuka ( al fattah) memberi bimbingan sedikit demi sedikit. Hingga bisa menemukan landasan yang ingin dicari walaupun masih banyak memerlukan bimbingan guru rohani..
Dengan demikian kehadiran para tokoh sufi yang bersih adalah untuk memenuhi kebutuhan bahwa dalam setiap umat terdapat kelompok terpilih ( al-mushthafa) yang menjadi wakil Tuhan dan kekasihnya. Disembunyikan oleh-nya dari makhluk-nya yang lain. Dan itulah yang disebut sufi atau yang kadang disebut waliyullah.
Hanya saja dalam setiap kurun sejarah selalu muncul para sufi dan wali palsu yang selalu mendakwakan dirinya sebagai sufi yang telah mencapai makrifatullah. Menyatu dengan Allah. bahkan menyatakan wali sempurna namun justru perintang manusia menuju ke-illahian dan kemanunggalan. Belum tentu bahwa keadaan mereka memang sebenarnya seperti itu. Bagi sodara yang ingin mencari jalan kebenaran menuju illahi carilah sang guru yang benar-benar ahlinya, supaya bisa menuntun jalan kita menuju kehadiratnya.
Sufi yang sebenarnya dapat di kenali dengan mudah karena ia tetap : 1. Secara dzahir mengamalkan syari’at yang teraplikasi bagi kehidupan manusia, dalam arti syari’at mashlahiyah, dan 2. Secara rohani dapat di jadikan contoh teladan karena mewarisi kerohanian Nabi Muhammad. Pada sisi ini syari’at dipahami sebagai segala bentuk perangkat dalam kesertaan sang pencari illahi dalam mewujudkan eksistensi kekhalifahan dalam rangka menciptakan kemaslahatan manusia. Inilah inti al-islam. Sebuah kepasrahan kepada Tuhan yang mendatangkan kerahmatan bagi seluruh alam (al-islam li al-‘alamin.

Para Kekasih Allah

۞.Para Kekasih Allah

Seseorang dapat menjadi kekasih Allah jika ia dapat menyempurnakan dirinya dengan menempuh jalan rohani sampai kepada ridha Allah. pada tingkat awalnya mungkin seseorang seimbang antara kebaikan dan keburukanya. Semakin lama dirinya semakin dipenuhi oleh kebaikan dan sebaliknya berkurang serta sirnanya keburukan.
Kemudian ego mereka takluk dalam cahaya kalimah laa ilaaha illallah sehingga dalam hatinya muncul al-furqon. Mampu membedakan antara dosa dan pahala,baik dan jahat, bersih, dan kotor mereka hanya menginginkan kebenaran illahi sehingga mereka di sirami oleh nur illahi pula. Mereka tidak lagi memandang dunia yang menjadikan nafsu meeka terikat, dan menjauhi pesona Allah.
Kemudian mereka menyelam ke dunia huwa, dimana si salik telah mampu membersihkan dirinya dari segala sifat buruk dan perilaku yang nista. Dengan itu mereka mendapatkan ketentraman batinya. Hawa nafsu telah tunduk sepenuhnya kedalam kehendak Allah. sehingga sampailah ia kepada majlis Allah. keikhlasan telah menyelimuti jiwanya. Segala yang selain Allah telah sirna dari jiwa dan hatinya. Inilah sufi yang sebenarnya. Hatinya telah bebas dari cengkraman hal-hal yang bersifat jasmani. Dengan hati yang suci dan jiwa yang bersih ia memasuki alam rohani para nabi, syuhada, shiddiqin, dan shalihin.
Ketika ia melaksanakan amalan dari al Qur’an dan Sunnah Nabi, maka amalan itu semakin membawanya dekat dengan Allah. yang terjadi adalah bahwa subtansi dari kitab-kitab suci itu sudah integral dan menjiwai rohaninya. Dia akan menerima ilham dari Allah sehingga menjadi orang yang arif yang ilmunya berasal dari ilmu ladunni. Dengan ilmu itu ia mengetahui antara yang benar dan salah, bisa membedakan mana yang bisikan setan dan yang berasal dari limpahan Allah. ia dipenuhi oleh ketentraman, kedamaian, dan kedekatan dengan Allah. sehingga hatinya pada makhluk Allah menjadi lapang dan sangat tentram. Ia dipenuhi oleh cinta Allah dan mendapatkan kecintaanya.
Apa yang di rasakanya adalah hatinya telah di liputi oleh dzauq dan wajd atawa cinta dan rindu. Ketika berdzikir kepada Allah, ia merasakan keagungan sifat jalal atau keagungan Allah serta merasakan sifat jamal atau keindahan-nya. Semula ia adalah thalib, dalam kondisi ini telah menjadi mathluub, yang mencari menjadi yang dicari, qaashid menjadi maqshuud, yang berhajat menjadi di hajati, murid menjadi murad, yang menuntut menjadi yang di tuntut.
Inilah tarikan dari Allah bagi kekasihnya yang tentu saja lebih baik dari semua amalan manusia dan jin. Huwa- ana, wa ana- huwa, anta- ana , wa ana-anta. Dia adalah Aku. Aku adalah Dia, Kamu adalah Aku, dan Aku adalah Kamu. Sesudah jumbuh ( berkesesuaian antara iradah dan qudrah, keinginan dan ketetapan), maka antara kawula dan gusti menjadi pamor (mensenyawa) sebagai penglihatan batinya. Dan inilah intrik dari filsafat eksistensialisme yang membawa manusia modern mencapai puncak kejayaan pengetahuan. Sayangnya manusia modern hanya mengambil inti filsafat ini secara fisik material sehingga terjadi kekosongan spiritual akan Tuhan.
Dalam hal ini, anda dapat membedakan manusia kekasih Allah dengan manusia yang bukan kekasihnya. Tentu anda pun dapat mengevaluasi diri anda sendiri, berada dalam kondisi kekasihnya atau bukan?
Para kekasih Allah selalu diliputi oleh kebaikan yang memunculkan lima tanda mendasar: à
1. Hati yang lembut sehingga orientasi ibadah fisiknya selalu tertuju bagi keselamatan dan kenyamanan orang lain. Karena dirinya sudah berada dalam kesatuan dengan-Nya sehingga tidak perlu khawatir lagi (la takhaf wa la tahzan, inna-Liaha ma’ana, kata Nabi Muhammad , tidak pernah takut dan khawatir lagi tentang dirinya karena Allah selalu sudah bersama kita.
2. Suka meneteskan air mata penyesalan karena dosa atau setitik noda yang dilakukan, atau terbersit dalam hati. Terutama ketika kemanusiaanya mengalahkan kesejatian ke-Illahianya.
3. Zuhud, yaitu tidak mementingkan kepentingan duniawi dengan segala kekayaan dan kemegahanya yang menjadi hijab terbesar bagi perjalanan spiritualnya.
4. Tidak memiliki angan-angan kosong ini adalah perkiraan bahwa di dunia ini merupakan kehidupan dan sesudahnya alam kematian. Yang sesungguhnya adalah dunia alam kematian spiritual, dan sesudah alam dunia itulah nanti manusia menemukan kehidupan sejati dan abadi.
5. Memiliki kesadaran yang tetap terhadap Allah.

Para kekasih Allah juga diliputi oleh empat sifat yang selalu melekat:à
1. Bisa di beri amanah
2. Suka menepati janji
3. Tidak pernah berdusta
4. Dalam berbicara dan berhubungan sesamanya tidak kasar dan tidak menyakitinya.

Bagi anak cucu adam yang ingin menemukan jalan kebenaran mulai lah dari diri kita sendiri, bukalah semua rahasia yang terselubung. Karna manusia yang bisa membuka dan menemukan jati dirinya maka dialah orang yang beruntung di sisi Tuhanya. Hanya yang di bukakan oleh sang pembuka ( al-fattah) yang akan bisa melihat segala keagungan Tuhan. Seperti kata al-ghazali:
“ wa huwa al-ladzi idza ‘arafahu al-insan faqad ‘arafa nafsahu, wa idza ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” à Apabila manusia yang mengenal hatinya, maka dia sesungguhnya telah mengenal dirinya. Dan apabila ia telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal akan tuhan.

Wassalam jack kalijaga
posted by Jalan trabas @ 04:37 0 comments

۞.Makna Keagungan Tuhan

۞.Makna Keagungan Tuhan
Ketika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar”/ Gusti Allah dan sebagainya, seharusnya pikiran dan perasaan orang tersebut sepenuhnya berada dalam lingkup arti dan makna kalimah agung tersebut, sedangkan hatinya dihadirkan untuk merasakan kehadiran/mengahadap Allah, atau paling tidak batinya dipersiapkan untuk merasakan kehadiran Allah di kedalaman jiwanya( pemaduan keimanan, keislaman dan keihsanan). Sehingga ketika makna keagungan asma’ tersebut meresap ke dalam seluruh sanubari, maka melalui roh al-idhafi-nya, ia akan menyatu dengan roh al-haqq. Sebagai bentuk kepasrahan total dan penyerapan asma’ agung miliknya dapat kita rasakan dalam kehidupan nyata.

Tentu sikap kepasrahan ini diakibatkan oleh karena pribadi kita /seharusnya memang telah merasakan kebesaran itu, sehingga nilai ibadah keagamaan, seperti shalat dan sebagainya sebagai simbol kepasrahan hidup secara total kepada Allah betul-betul dapat kita rasakan, kita sengaja dan tentu kita harapkan keridhaan Allah dari sikap kepasrahan tersebut. Maka dengan kondisi batin seperti inilah seorang hamba dengan takbirnya itu telah betul-betul bersedia menghadap Allah. jadi jiwa tersebut telah dengan bulat/hanya kepada Allah menghadap, hamba tersebut telah bertindak mati sak jeroning urip, dimana Allah telah menjadi satu-satunya tujuan hidupnya. Maka wajarlah, dengan ibadahnya yang penuh kelimpahan keagungan Tuhan tersebut, seorang mukmin akan bisa merasakan “dialog” dengan Tuhan. Disini pula ia akan mampu merasakan jawaban Tuhan atas semua yang diucapkan dalam kesadaran murni ruhaninya. Oleh karenanya pengagungan /tuhan tersebut juga menuntut suatu kesadaran utuh bahwa Allah adalah sangkan paraning dumadi/ inna li-Lla-i wa inna ilayhi raji’un. Karena kesadaran seperti itu jarang terdapat pada orang beragama sebenarnya taat pada aturan syariat, maka sekarang banyak kita jumpai bahwa dalam pelaksanaan ibadah syariat yang dilakukan terasa kering, dan hampa spiritual, tidak mampu merasakan kenikmatan dari perbuatan yang dilakukan.Itulah makna takbirat al-ihram,takbir yang mengharamkan segala hal diluar Allah dalam shalat atau sembahyang seorang muslim secara syariat. Segala aspek kebutuhan dan pemenuhan manusiawiyah serta segala sesuatu tentang keduniaan telah “haram” karena segalanya telah diorientasikan guna menghadap/ tawajjuh kepada Allah sepenuhnya dalam hidup. Dengan takbir konkret itu, maka kekerdilan seorang hamba dihadapan Allah akan menjadi kebesaranya dihadapan sesama makhluk, sebab keagungan Allah akan bisa memancar pada diri seseorang yang dengan tulus dan ikhlas menghambakan dirinya di depan keagungan-Nya.

Dengan kebesaran Allah, segala yang di luar itu menjadi tidak berarti dalam kehidupanya. Dan orang yang bisa merasakan kebesaran sang pencipta itu, juga memandang bahwa segala hal di dunia ini sangat kecil, seperti kekerdilan dirinya di hadapan Allah, ibarat setitik debu di padang pasir. Adakah keinginan duniawi masih mewarnai atau malah mendominasi kedirian seseorang, ketika ia telah berada di dalam kebesaran-Nya? Hal ini tidak mungkin terjadi dalam diri jiwa orang yang shalih, hanif, dan halim.

Dengan kesadaran tauhid murni berangkat dari keagungan Tuhan itulah, maka dalam konteks pengalaman spiritualnya tokoh sufi jawa lebih sering menggunakan ungkapan “sang dzat wajibul maulana dan “sang hyang manon untuk memperkenalkan nama Tuhan di asia tenggara, atau entitas muslim jawa pada khususnya. Maknanya adalah Dzat yang wajib melindungi, yang wajib memimpin, yang wajib mengayomi, dan itulah Dzat wajibul mulyaningrat. Istilah-istilah tersebut tentu sangat membekas di hati sanubari masyarakat indonesia saat itu, karena penyebutan nama Tuhan terasa lebih konkret dan lebih dekat kosakata lokal masyarakat. Makna subtansinya sama dengan Allahu akbar dalam bahasa arab. Bagi sunan kalijaga, sunan kajenar, sunan panggung dan sebagainya, bahasa seharusnya tidak menjadikan kendala begi seseorang untul mengenal dan mempersepsi Tuhan dalam jiwanya.
Pada tataran kerohanian ini pula, maka melihat gejala bahwa secara spiritual masyarakat indonesia waktu itu sudah sangat kaya dengan pengalaman rohani, maka para sufi jawa memperkenalkan pola sembahyang/ shalat daim, dimana kondisi hati, pikiran dan gerakan selalu diarahkan pada orientasi kesadaran”tidak ada Tuhan yang maujud kecuali Allah”. sehingga orang tidak terjebak pada belenggu aturan formal keagamaan yang dibuat manusia, justru bahwa rohaninya dimerdekakan dan dibebaskan untuk merasakan Tuhan dalam dirinya, sekaligus karena pengucapan nama Tuhan berasal dari kesadaran rohani terdalam dan pengalaman konkret menyatu dengan Tuhan, mereka juga memiliki kebebasan untuk memberikan nama kepada Tuhan. Ya itulah subtansi “Allahu Akbar” yang bukan mengacu pada nama Tuhan yang di “langit”, namun lebih bergerak kebawah/ tanazzul, berorientasi pada sikap rohani manusia yang mampu merasakan kehadiran Tuhan secara nyata.
Sementara bagi orang yang masih awam dan hanya memiliki bekali fiqih untuk menghadap Allah, sunan kajenar dan sunan kalijaga dan sebagainya mengenalkan shalat tarek lima waktu, serta shalat saru raka’at salam, sebagai bekal untuk memasuki gerbang rohani menuju ma’rifatullah. Tentu saja bahwa bacaan shalatnya bersifat kombinasi antara arab dan jawa, yang bagi para sufi yang arif shalat dengan bahasa lokal, disamping beberapa bacaan yang wajib memakai arabnya, diperbolehkan, sebagaimana juga dipahami dalam monteks fiqih mazhab syafi’iyah dan malikiyah/ al-jazairi,t.t.:1, 221-226.

jack kalijaga
posted by Jalan trabas @ 04:22 0 comments

۞.Pemuda Yang Berjalan Diatas Air

۞.Pemuda Yang Berjalan Diatas Air
Diantara cerita yang diriwayatkan mengenai para kekasih Allah atau wali Allah adalah cerita yang diberitakan oleh Zin-Nun rahimahullah, katanya :
Sekali peristiwa, saya bercadang untuk pergi keseberang laut untuk mencari sustu barang yang saya perlukannya dari sana. Saya pun menempah suatu tempat disebuah kapal. Bila tiba waktu itu aka berangkat , saya lihat penumpang penumpangnya yang menaikki terlalu banyak sekali bilanggannya, yang kebanyakannya dating dari tempat yang jauh , sehingga kapal itu penuh sesak dengan penumpang.
Saya terus mengamati amati wajah wajah penumpang itu, dan saya lihat diantaranya ada seorang pemuda yang sangat kacak rupanya , wajahnya bersinar cahaya, dan dia duduk ditempatnya dalam keadaan tenang sekali,tidk seperti penumpang penumpang lain, terus mundar mandir diatas kapal itu. Udara atas kapal itu agak panas, meski pun angina laut bertiupan, sekali panasnya dating dari sebab terlalu banyak penumpang yang berhimpit hempit diantara satu dengan yang lain.
Pada mulanya kapal itu belayar dengan lancer sekali, kerana baarang kali lautnya tenang tidak bergelombang, dan angit pun tidak bertiup kencang, kecuali sekali sekala saja, dan kalau ada pun hanya ombak ombak kecil biasa dihadapinya.
Dalam keadaan yang begitu tenang diatas kapal itu, tiba tiba kami dikejutkan oleh suatu pemberitahuan umum yang mengatakan bahawa nakhoda kapal itu telah kehilanggan suatu barang sangat berharga, dan hendaklah semua penumpamn penumpang kapal duduk ditempat masing masing, erana sustu pengeledahan akan di jalankan tidak lama lagi untuk mencari barang yang hilang itu.
Kinipenumpang penumpang kapal kecoh berbicara antara satu dengan yang lain mengenai barang yang hilang itu. Masing masing cuba mengeluarkan pendapat bagaimana barang itu boleh hilang. Saya sendiri merasa hairan bagaimana barang nakhada itu boleh hilang ? Apa kah dicuri orang ? atau pun barangkali keciciran kerana manusia diatas kapal itu terlalu banyak .
Sebentar lagi nakhoda kapal mengumumkan:
‘semua penumpang hendaklah berada ditempatnya. Sekarang kami akan memulakan penggeledahan !’
Pengeledahan pun dimulakan oleh beberapa org pegawai kapal itu. Penumpang penumpang itu semuanya ribut , baik lelaki mau pun wanitnya. Mereka digeledah satu satu cukup parinya. Begitu pula tempat tidur mereka dibentangkan dan diraba, kalau kalau barang itu disembunyikan dicelah celahnya. Na,un barang itu masih belum diketemui lagi. Akhirnya sampailah giliran tempat si pemuda tampan untuk digeledah. Pada mulanya pemuda itu duduk ditempatnya dengan tenang sekali . tetapi oleh kerana dia orang yang terakhir yang diperiksa , maka muka muka orang ramai seolah olah mengancam memerhatikannya. Mungkin ada orang yang mengatakan didalam hatinya, barangkali pemuda inilah yang mencuri barang itu. Apabila pemuda itu dikasari oleh pegawai pegawai kapal itu dalam pemeriksaanya lalu dia melompat ketepiseraya memprotes: ‘ saya bukan pencuri, kenapa saya dilakukan begitu kasar?’ Lantaran pemuda itulah satu satunya orang yang membantah, maka disangka pegawai pegawai kapal itu dial ah pencuri barang itu. Mereka mahu menangkapnya, maka pemuda itu pun meronta lalu menerjunkan diri kemuka laut.orang ramai menyerbu kepinggir kapal hendak melihat pemuda yang terjun kedalam laut itu. Yang menghairankan bahawa pemuda itu tidak tengelam, malah dia duduk dimuka laut itu, sebagaimana dia duduk diatas kerusa dan tidak tengelam. Pemuda itu lalu berkata dengan suara yang keras:
‘Ya Tuhanku ! Mereka sekaian menuduh ku sebagai pencuri ! Demi Zat Mu , wahai Tuan Pembela orang yang terinaya ! Perintahkan lah kiranya semua ikan ikan dilaut ini supaya timbul dan membawa dimulutnya permata permata yang berharga !’
Penumpang penumpang terus merenungkan pandangannya kelaut sekitar kapal itu ingin melihat jika benar ikan ikan itu akan timbul membaw dimulut nya permata permata yang berharga ? saya juga ikut sama memerhatikan permukaan air itu.
Memang benar , dengan kuasa Allah , permintaan pemuda itu dikabulkan Tuhan, timbul disekitar kapal itu beribu ribu ikan dan kelihatan dimulut mulutnya batu batu putih dan merah berkilauan cahayanya , hingga membuat mata mata yang memandangnya silau kerananya. Semua orang disitu bersorak menepuk tangan kepada pemuda itu.
Saya terus tercengang, tidak dapat berkata apa apa pun. Nakhoda kapal dan peawai pegawai kapal itu bingung, seolah olah dia tidak percaya apa yang dilihatnya.
‘Apakah kamu masih menuduh ku mencuri, padahal perbendaharaan Allah ada ditangan ku, jika aku mahu boleh aku ambil ?’ Pemuda itu kemudiannya memerintahkan ikan ikan itu supaya kembali ketempatnya, maka tengelamlah semuanyasemula ikan ikan tadi, dan orang orang diatas kapal it uterus besorak lagi.
Pemuda itu lalu berdiri diatas air itu, kemudian berjalan diatasnya secepat kilat sementara lisannya terus mengucapkan : surah Al-fatihah: 4
‘Hanya kepada Mu lah aku menyembah , dan hanya kepada Mu pula aku meminta bantuan.’’
Dia terus menjauhi kami, sehingga hilang dari pandangan kami. Saya sama sekali tidak menduga , bahawa pemuda ini kemungkinan sekali termasuk kedalam golongan ahli Allah, yang pernah diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya yang berbunyi :
“akan tetap ada dalam umat ku sebanyak tiga puluh orang lelaki, hati hati mereka sepadan dengan hati Nabi Allah Ibrahim a.s. setiap mati seorang di antara mereka, diganti Allah seorang lain ditempatnya.”

Senin, 04 Mei 2009

Filosofi Sufi

۞.Membaca Filosofi Sufi
Membaca sesuatu dan segala sesuatu dalam Sufisme seperti membaca segala macam buku dengan subyek berbeda tanpa dasar yang penting. Suatu malapetaka, seperti halnya pengobatan secara serampangan, mungkin membuat manusia malah lebih buruk daripada sebelum membacanya.
Tulisan-tulisan Sufi senantiasa ditujukan untuk pengunjung khusus. Pengunjung ini tidak sama di Bukhara dengan di Basrah, di Spanyol dan di Afrika.
Namun nilai kumpulan pelajaran khusus dari bacaan-bacaan Sufi yang dibuat seorang Sufi tidak dapat dilebih-lebihkan.
Nilai-nilai tersebut termasuk:
Pilihan bagian-bagian yang akan membantu komunitas menemukan jalannya.
Persiapan murid, untuk pencerahan yang diberikan guru secara pribadi bila waktunya siap;
Suatu perbaikan terhadap pengulangan-pengulangan doktrin dan praktek biasa yang membosankan, yang pudar tanpa diketahui.
Suatu perbaikan terhadap kegembiraan yang kita alami setiap hari, dan yang memanipulasi kita tanpa kita ketahui.
Oleh karena itu, bacalah, apa yang sudah disiapkan untukmu, sehingga engkau memperoleh berkah dari kebahagiaan abadi.
(Hadrat Bahauddin Naqsyabandi)
Posted by darisrajih | Kisah Hikmah, Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy RA | |

Melihat Abu Yazid
….Seandainya engkau melihat Abu Yazid sekali saja, itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah SWT tujuh puluh kali….
Diceritakan bahwa Abu Turab an-Nakhsyabi merasa kagum pada pemuda, lalu ia mendekatinya dan mengerjakan tugas-tugasnya. Sedangkan si pemuda sibuk dengan ibadah. Lalu pada suatu hari Abu Turab berkata kepadanya, “Seandainya engkau melihat Abu Yazid.” Lalu ketika abu Turab berulang-ulang pernyataan, “ Seandainya engkau melihat AbuYazid” kepadanya, sang pemuda menjadi kesal dan langsung berkata, “Celaka kamu, apa yang harus aku perbuat dengan abu Yazid?”
Melihat sikapnya, jiwa Abu Turab bergejolak, ia marah dan tidak dapat menahan diri lagi sehingga berkata, “Celakalah engkau, engkau telah menipu Allah SWT. Seandainya engkau melihat Abu Yazid sekali saja, itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah SWT tujuh puluh kali.” Sang pemuda tercengang dengan ucapan Abu Turab dan mengingkarinya dengan bertanya, “Bagaimana bisa demikian?” Abu Turab menjawab, “Celaka kamu, engkau melihat Allah SWT hanya dari sisimu, lalu ia memperlihatkan dirinya-Nya kepadamu sesuai dengan kemampuanmu. Sedangkan jika kamu melihat Abu Yazid di sisi Allah, maka ia akan memperlihatkan diri-Nya sesuai dengan kemampuan Abu Yazid.”
Sang pemuda pun memahami perkataan Abu Turab, lalu ia berkata, “Bawa saya kepadanya.” Di akhir kisah, Abu Turab dan sang pemuda berdiri di atas bukit untuk menunggu Abu Yazid keluar dari dalam hutan yang penuh dengan hewan buas. Lalu Abu Yazid melintas di hadapan mereka sambil membawa seekor burung di pundaknya. Maka Abu Turab berkata kepada sang pemuda, “Itu dia Abu Yazid, lihatlah.”
Saat sang pemuda melihatnya, seketika itu pula ia pingsan. Lalu Abu Turab menggerak-gerakkan badannya, namun ternyata ia telah meninggal. Maka Abu Turab dan Abu Yazid berusaha menguburkannya. Saat sedang prosesi pemakaman,Abu Turab berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, melihatmu membuat ia meninggal.” Abu Yazid berkata, “Tidak, tetapi temanmu dalam posisi benar. Dalam hatinya bersemayam rahasia yang tidak dapat terungkap oleh dirinya sendiri, lalu ketika ia melihat kita, barulah ia menyingkap rahasia hatinya sehingga ia pun merasa berat menanggungnya karena ia berada di tingkatan murid yang rendah. Karena menanggung beban itulah ia meninggal.
Sumber : Ihya’ Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali
2009 Posted by darisrajih | Abu Yazid Al Busthami, Kisah Sufi |

Delapan Sifat Kaum Sufi
Dalam ajaran Sufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Sufi memiliki:
Kemurahan hati seperti Ibrahim a.s.;
Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail a.s.;
Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya’kub a.s.;
Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria a.s.;
Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya a.s.;
Jubah wool seperti mantel gembala Musa a.s.;
Pengembaraan, seperti perjalanan Isa a.s.;
Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad saw.
Posted by darisrajih | Junaid Al-Baghdadi, Sufisme | |

Membaca Filosofi Sufi
Membaca sesuatu dan segala sesuatu dalam Sufisme seperti membaca segala macam buku dengan subyek berbeda tanpa dasar yang penting. Suatu malapetaka, seperti halnya pengobatan secara serampangan, mungkin membuat manusia malah lebih buruk daripada sebelum membacanya.
Tulisan-tulisan Sufi senantiasa ditujukan untuk pengunjung khusus. Pengunjung ini tidak sama di Bukhara dengan di Basrah, di Spanyol dan di Afrika.
Namun nilai kumpulan pelajaran khusus dari bacaan-bacaan Sufi yang dibuat seorang Sufi tidak dapat dilebih-lebihkan.
Nilai-nilai tersebut termasuk:
Pilihan bagian-bagian yang akan membantu komunitas menemukan jalannya.
Persiapan murid, untuk pencerahan yang diberikan guru secara pribadi bila waktunya siap;
Suatu perbaikan terhadap pengulangan-pengulangan doktrin dan praktek biasa yang membosankan, yang pudar tanpa diketahui.
Suatu perbaikan terhadap kegembiraan yang kita alami setiap hari, dan yang memanipulasi kita tanpa kita ketahui.
Oleh karena itu, bacalah, apa yang sudah disiapkan untukmu, sehingga engkau memperoleh berkah dari kebahagiaan abadi.
(Hadrat Bahauddin Naqsyabandi)
Posted by darisrajih | Sufisme, Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy RA |

Kesadaran
Manusia mungkin berada dalam keadaan gembira, dan manusia lainnya berusaha untuk menyadarkan. Itu memang usaha yang baik. Namun keadaan ini mungkin buruk baginya, dan kesadaran mungkin baik baginya. Membangunkan orang yang tidur, baik atau buruk tergantung siapa yang melakukannya. Jika si pembangun adalah orang yang memiliki pencapaian tinggi, maka akan meningkatkan keadaan orang lain. Jika tidak, maka akan memburukkan kesadaran orang lain.
June 25, 2008 Posted by darisrajih | Jalaluddin Rumi, Kisah Sufi | | No Comments
Kebenaran
Nabi bersabda bahwa Kebenaran telah dinyatakan:
“Aku tidak tersembunyi, tinggi atau rendah
Tidak di bumi, langit atau singgasana.
Ini kepastian, wahai kekasih:
Aku tersembunyi di kaibu orang yang beriman.
Jika kau mencari aku, carilah di kalbu-kalbu ini.”
Posted by darisrajih | Jalaluddin Rumi, Kisah Sufi | |

Nasehat Imam Ghazali
Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya….pertama,”Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab “orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “MATI”. Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran 185)
Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua…. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”. Murid -muridnya menjawab “negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “MASA LALU”. Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga…. “Apa yang paling besar di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawah “gunung, bumi dan matahari”. Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU” (Al A’Raf 179).Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”. Ada yang menjawab “besi dan gajah”. Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH” (Al Ahzab 72).Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.
Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”…Ada yang menjawab “kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bermesyuarat kita meninggalkan sholat.
Dan pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”…Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”. Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA” Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.
June 11, 2008 Posted by darisrajih | Al-Ghazali, Kisah Sufi | | No Comments
Nasruddin Mendinamit Punggungnya
Tidak mungkin membantu orang lain tanpa membantu diri sendiri, atau merugikan orang lain tanpa merugikan dirinya sendiri.
Nasruddin sedang bersungut-sungut terhadap dirinya sendiri ketika kawannya bertanya apa yang ia risaukan.
Nasruddin berkata, “Ahmad yang goblok itu selalu menabok punggung saya setiap kali ia melihat saya. Maka hari ini saya menaruh satu dinamit di bawah jaket saya. Kalau kali ini ia menabok saya ia akan kehilangan tangannya!”
Posted by darisrajih | Kisah Sufi, Nasrudin Hoja | |

Mempercayai Keledai
Seorang tetangga datang untuk meminjam keledai Nasruddin.
“Keledai sedang dipinjam,” kata Nasruddin.
Pada saat itu binatang itu meringkik dari kandangnya. “Tetapi saya dengar ringkikannya,” kata tetangga itu. “Jadi siapa yang kaupercaya, keledai atau saya?”