Rabu, 02 September 2009

Islam dan Mistik Jawa

۞.Islam Dan mistik Jawa
Berjalanlah, seorang dewa Hindu, Wisnu didorong oleh keinginannya yang besar untuk mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh, dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke negeri Rum (Turki), salah satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaah Daulah Usmaniyah. Untuk mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun menganut dua agama sekaligus, lahir tetap dewa Hindu namun batinnya telah menganut Islam.

Dan demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan pada masa itu Seh Suman bisa menghadiri musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan wejangan enam mursid (guru sufi):1) Seh Sumah,2) She Ngusman Najid,3) Seh Suman sendiri,4) Seh Bukti Jalal,5) Seh Brahmana dan6) Seh Takru Alam.

Demikianlah ikhtisah Suluk Saloka Jiwa karya pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabei Ranggawarsita, kitab ini nampaknya diilhami oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membehas ilmu kasampuranan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat.

Serat Soluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari masa manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sanggkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah SWT itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah :* al-nur yang kemudian terpancar darinya 4 unsur : tanah, api, udara, dan air.* Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari 4 unsur: darah, daging, tulang dan tulang rusuk.

Api melahirkan 4 jenis jiwa/nafsu : aluamah (dlm ejaan Arab lawwmah) yang memancarkan :1) warna hitam;2) amarah (ammarah) memancarkan warna merah;3) supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan4) mutmainah (muthma’inah) berwarna putih.
Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.

Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kejawen yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Namun demikian, konsep tentang nafsu-nafsu itu kemudian berkembang dikalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan penganut kebatinan Jawa nonmuslim.

Demikianlah ikhtisar Suluk Saloka Jiwa sebagaimana dirangkumkan oleh Simuh (1991: 76). Menurut Simuh, kitab ini tampaknya “di-ilhami” oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membahas ilmu kasampurnan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat. Pendapat senada terdapat dalam disertasi Dr Alwi Shihab di Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma’asir. Hanya saja, dalam disertasi Shihab, nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Seh Suman ditulisnya sebagai Sulaiman, Seh Ngusman Najid ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu, alur cerita yang digambarkan tidak berbeda. Keduanya juga menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya menyinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme), inti pokok ajaran kebatinan Jawa.

Serat Suluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari mana manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sangkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah al-nur yang kemudian terpancar darinya tanah, api, udara, dan air. Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari empat unsur: darah, daging, tulang-tulang, dan tulang rusuk. Api melahirkan empat jenis jiwa/nafsu: aluamah (dalam ejaan Arab lawwamah) yang memancarkan warna hitam; amarah (ammarah) memancarkan warna merah; supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan mutmainah (muthma’inah) yang berwarna putih. Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.

Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kebatinan Jawa yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Dalam kaitan pemilahan an-nafs(nafsu) ini, Al-Ghazali membagi tujuh macam nafsu, yaitu mardhiyah, radhiyah, muthmainah, kamilah, mulhammah, lawwamah, dan ammarah(Rahardjo; 1991: 56). Namun, yang berkembang dalam kebatinan Jawa bukan tujuh macam nafsu, namun tetap empat nafsu di atas.

Seorang dokter-cendekiawan Jawa dari Semarang, dr Paryana Suryadibrata, pada tahun 1955, pernah menulis karangan “Kesehatan Lahir dan Batin” bersambung lima nomor di Majalah Media Yogyakarta. Ia, misalnya, menyebut 4 (empat) macam tingkatan nafsu manusia:1. ammarah(egosentros) ,2. supiyah(eros) ,3. lawwamah(polemos) , dan4. muthmainah(religios ).

Konsep tentang empat nafsu itu kemudian berkembang luas di kalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan kebatinan Jawa yang non-muslim. Karena itu, tidak salah jika Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen.

Sinkretisme atau Varian Islam?
· Lantas, apa yang bisa diambil bagi generasi masa kini atas keberadaan Suluk Saloka Jiwa?
· Benarkah Ranggawarsita, dengan karya suluknya ini, telah membawa bentuk sinkretisme Islam-Jawa?
· Lantas, mungkinkah semangat pencarian titik temu antar-nilai suatu agama ini bisa dijadikan desain strategi budaya untuk membangun pola relasi antar-umat beragama di Indonesia dewasa ini?

Pertanyaan-pertanya an ini agaknya tidak bisa dipandang enteng, mengingat kompleksnya permasalahan. Yang jelas, masing-masing pertanyaan di atas memiliki korelasi dengan konteksnya masing-masing, tinggal bagaimana seorang penafsir mengambil sudut pandang. Anggapan bahwa ajaran mistik Jawa sebagaimana tercermin dalam Suluk Saloka Jiwa merupakan bentuk sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hinduisme) boleh dikata merupakan pendapat yang umum dan dominan. Apalagi, sejak semula Ranggawarsita sendiri-lewat karyanya itu-seakan telah memberi legitimasi bahwa memang terdapat paralelisme antara Islam dan Hinduisme. Hal ini seperti tercermin dalam kutipanpupuh berikut ini:Yata wahu / Seh Suman sareng angrungu / pandikanira / sang panditha Ngusman Najid / langkung suka ngandika jroning wardoyo // Sang Awiku / nyata pandhita linuhung / wulange tan siwah / lan kawruhing jawata di / pang-gelare pangukute tan pra beda // .
Artinya:Ketika Seh Suman (Wisnu) mendengar ajaran Ngusman Najid, sangat sukacita dalam hatinya. Sang ulama benar-benar tinggi ilmunya, ajarannya ternyata tidak berbeda dengan ajaran para dewa (Hinduisme). Pembeberan dan keringkasannya tidak berbeda dengan ilmu kehinduan. Atas pernyataan ini, kalangan pakar banyak yang berpendapat bahwa Ranggawarsita seperti telah menawarkan pemikiran “agama ganda” bagi orang Jawa, yaitu lahir tetap Hindu namun batin menganut Islam, karena antara Hindu dan Islam menurutnya memang terdapat keselarasan teologi. Simuh, misalnya, menyatakan, “Maka, menurut Ranggawarsita, tidak halangan bagi priayi Jawa menganut agama rangkap seperti Dewa Wisnu: Lahir tetap hindu sedangkan batin mengikuti tuntunan Islam” (Simuh; 1991: 77).

Tafsiran demikian ini tidak dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu. Hal tersebut tidak terlepas dari strategi budaya yang diterapkan keraton-keraton Islam di Jawa pasca-Demak, yang mencari keselarasan antara masyarakat pesisiran yang kental dengan ajaran Islam dan masyarakat pedalaman yang masih ketat memegang keyakinan-keyakinan yang bersumber dari Hindu, Buddha, dan kepercayaan- kepercayaan asli,agar tidak ada perpecahan ke agamaan. Upaya-upaya ini telah dilakukan secara sistematis, utamanya sejak dan oleh Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam. Di antaranya, Sultan Agung mengubah kalender Saka (Hindu) menjadi kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Saka dan sistem penanggalan Islam (Hijriah).

Namun, benarkah bahwa Islam Jawa merupakan bentuk sinkretisme Islam dengan ajaran Hindu, Buddha dan kepercayaan Jawa? Pendapat yang dominan memang demikian, khususnya bagi yang mengikuti teori trikotomi-santri- priayi-abangan- Clifford Geertz sebagaimana tercermin dalam The Religion of Java yang monumental itu. Namun, seorang pakar studi Islam lainnya, Mark R Woodward, yang melakukan penelitian lebih baru dibanding Geertz, yaitu pada tahun 1980-an, berkesimpulan lain.
Woodward, yang sebelumnya telah melakukan studi tentang Hindu dan Buddha, ternyata tidak menemukan elemen-elemen Hindu dan Buddha dalam sistem ajaran Islam Jawa. “Tidak ada sistem Taravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava yang saya pelajari yang tampak dikandungnya (Islam Jawa) kecuali sekadar persamaan… sangat sepele,” demikian tulis Woodward (1999: 3).

Bagi Wordward, Islam Jawa-yang kemudian disimplikasikan sebagai kejawen-sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hindu dan Buddha), tetapi tidak lain hanyalah varian Islam, seperti halnya berkembang Islam Arab, Islam India, Islam Syiria, Islam Maroko, dan lain-lainnya. Yang paling mencolok dari Islam Jawa, menurutnya, kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Buddha yang paling maju atau sophisticated (ibid: 353). Perubahan itu terjadi dengan begitu cepatnya, sehingga masyarakat Jawa seakan tidak sadar kalau sudah terjadi transformasi sistem teologi.

Dengan demikian, konflik yang muncul dengan adanya Islam Jawa sebenarnya bukanlah konflik antar-agama (Islam versus Hindu dan Buddha), melainkan konflik internal Islam, yakni antara Islam normatif dan Islam kultural, antara syariah dan sufisme. Dalam kaitan ini, Woodward menulis:
“Perselisihan keagamaan (Islam di Jawa) tidak didasarkan pada penerimaan yang berbeda terhadap Islam oleh orang-orang Jawa dari berbagai posisi sosial, tetapi pada persoalan lama Islam mengenai bagaimana menyeimbangkan dimensi hukum dan dimensi mistik.” (ibid: 4-5).Namun, harus diakui, menyimpulkan apakah Suluk Saloka Jiwa mengajarkan sinkretisme Islam dan Hindu-Buddha atau tidak memang tidak gampang. Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Namun,
pendapat Woodward bahwa problem keagamaan di Jawa lebih karena faktor konflik Islam normatif dan Islam kultural tersebut juga bukan tanpa alasan, setidak-tidaknya memang konsep nafs (nafsu) seperti yang ditulis Ranggawarsita itu memang sulit dicarikan rujukannya dari sumber-sumber literatur Hindu, Buddha ataupun kepercayaan asli Jawa, namun akan lebih mudah ditelusur dengan mencari rujukan pada literatur-literatur tasawuf (sufisme) Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, As-Suhrawardi, Hujwiri, Qusyayri, Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi Islam lainnya.

Kekhawatiran bahwa Islam Jawa kemungkinan akan “menyeleweng” dari Islam standar tidaklah hanya dikhawatirkan oleh kalangan Islam modernis saja, melainkan kelompok-kelompok lain yang mencoba menggali Islam Jawa dan mencoba mencocokkannya dengan sumber-sumber Islam standar. Seorang intelektual NU, Ulil Abshar-Abdalla, ketika mengomentari Serat Centhini (Bentara, Kompas, edisi 4 Agustus 2000), menulis sebagai berikut:

Yang ingin saya tunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini [Serat Centhini], tetapi telah mengalami “pembacaan” ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai “teks besar” yang “membentuk” kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodoksi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk “membaca kembali” Islam dalam konteks setempat, tanpa ada ancaman kekikukan dan kecemasan karena “menyeleweng” dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan “resistensi” . Penolakan tampil dalam nada yang “subtil”, dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme”.. ..
Ulil-Abshar barangkali ingin mengatakan inilah cara orang Jawa melakukan perlawanan: Menang tanpa ngasorake… Islam tampaknya telah mengalami kemenangan di Jawa, namun sesungguhnya Islam telah “disubversi” sedemikian rupa, dengan menggunakan tangan Islam sendiri, sehingga sesungguhnya yang tetap tampil sebagai pemenang adalah Jawa.

Dari Mitis ke Epistemologis
Pada akhirnya, dalam kaitannya relasi Islam-Jawa, bila yang digunakan pendekatan adalah pandangan “kita” versus “mereka”, dan karena itu “Jawa” dan “Islam” berada dalam posisi oposisional dan tanpa bisa didialogkan, serta mendudukannya secara vis-a-vis, maka sebenarnya tanpa sadar kita pun telah ikut melegitimasi konflik. Kalau itu yang terjadi, dalam konteks pembangunan toleransi antarpihak, kita sebenarnya tidak memberikan resolusi, namun justru antisolusi. Karena itu, dalam konteks ini, resolusi harus dicarikan pendekatan lain. Dan pendekatan yang layak ditawarkan adalah pendekatan transformatif, yaitu tranformatif dari cara berpikir “mitis” ke pola berpikir “epistemologis.

Transformasi berpikir “mitis” ke “epistemologis” adalah membawa alam pikiran masyarakat dari semula yang “tidak berjarak” dengan alam menuju cara berpikir yang “mengambil jarak” dengan alam. Dengan adanya keberjarakan dengan alam, manusia bisa memberi penilaian yang obyektif terhadap alam semesta. Ini tentu saja berbeda dengan cara berpikir “mitis”, manusia berada “dalam penguasaan” alam.
Karena itu, ketika mereka gagal memberi rasionalitas terhadap gejala-gejala alam, seperti gunung meletus, angin topan, banjir bandang, maka yang dianggap terjadi adalah alam sedang murka. Berpikir mitos pada akhirnya yang terjadi. Dengan berpikir epistemologis, mengambil jarak dengan alam, maka manusia bisa memberi gambaran yang rasional tentang alam, dan kemudian mengolahnya, demi kesejahteraan umat manusia. Alam pun berubah menjadi sesuatu yang fungsional, bermanfaat.
posted by Jalan trabas @ 17:01

Bukti Manusia Berjiwa Tuhan

۞.Zakat Bukti Manusia Berjiwa Tuhan

Zakat terbagi menjadi dua jenis : zakat yang di tentukan oleh syariat agama. kedua zakat menurut pandangan ahli tasawuf atau zakat hakikat. zakat yang di tentukan oleh syariat adalah zakat yang di keluarkan untuk harta kekayaan yang di peroleh secara halal di dunia, yang berasal dari kelebihan harta dalam keluarga, dan dibagikan kepada mereka yang memerlukan dan ashnaf-ashnaf zakat. dan yang berhak menerimanya fakir miskin dan orang terlantar lainya.

Zakat dari sudut pandang tasawuf adalah sebagian harta rohani yang di peroleh seseorang dan di bagikan yang memerlukanya, yakni fakir miskin dalam bidang rohani. zakat sejenis ini akan memberikan perwatakan untuk selalu memberikan sebagian dari semua hasilnya utk selalu di berikan orang lain, menolong mereka yang kelaparan, memperdayakan mereka yang menderita kemiskinan. apa saja yang diberikan dengan tujuan utk berzakat, pada hakikatnya terlebih dahulu jatuh ketangan Allah sebelum zakat itu jatuh ke tangan si penerimanya. karena itu sebenarnya zakat di perintahkan kepada kita,karena Allah sendiri maha pemberi segala keperluan. namun rahasia terdalamnya adalah agar menjadikan niat pemberi zakat untuk di terima Illahi.

Adapun mereka yang dekat dengan Allah mebagi-bagikan ganjaran rohaninya, hasil ibadah dan amal-salehnya dengan niat untuk menghadiahkan pahala amalan salehnya kepada orang-orang lain, yang derajat rohaninya berada di bawahnya, dan untuk orang-orang yang banyak kealpaanya kepada tuhan. dengan begitu Allah dengan segala rahmatnya mengampuni dosa-dosa hambanya yang berdosa dari hasil pembagian sebagian pahala dan ganjaran yang diperoleh hamba-hambanya yang saleh ini bentuk lain dari zakat rohani.

Tegasnya, orang sufi dalam kategori ini sangat merahmati orang awan yang lalai dan menyia-nyiakan dirinya sendiri, amalan mereka kurang, malah maksiatnya bertambah. orang seperti ini berada dalam bahaya rohani yang sangat besar.karena itu para orang-orang sufi menaruh perhatian yang sangat besar kepada orang orang-orang itu. sehingga amalan baik para orang sufi bukan hanya utk dirinya sendiri tetapi di tujukan kepada orang banyak yang lalai dalam memahami hakikat ketuhanan. orang awam kebanyakan miskin rohani sehingga tidak memiliki bahan untuk dapat mengenali hakikat perjalanan menuju tuhan. karena itulah para sufi menzakati dari amalan saleh, kepada mereka yang miskin rohani agar bertambah pengetahuanya tentang perjalanan sesungguhnya menuju illahi.

Zakat harta dan Zakat rohaninya itu adalah sebagai bentuk keinginan orang sufi atas kecintaan Allah,keridaan, rahmat, belas kasih, ampunan,perlindungan perhatian, kedekatan, dan duduknya bersama untuk merasakan cahayanya. dan akhirnya ia bisa melihat wajahnya.itulah puncak karunia tuhan.

Para sufi jawa kuno memberikan makna aplikasi zakat sebagai sikap menolong orang laen dari penderitaan dan kekurangan.menolong orang laen agar bisa hidup yang sebenarnya di sisi tuhan. sekaligus bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. dari berbagai kata zakat di dalam qur'an sendir ternyata mempunyai makna 1.tidak mendustakan kebenaran 2. tidak melakukan kedurjanaan 3. tidak mengikuti hawa nafsu 4. tidak berbuat melampui batas seperti banyak yang terjadi pada kaum sebelumnya. padahal kita itu di suruh untuk mengikuti kehendak Allah bukan mengikuti kehendak nafsunya. jadi zakat adalah aplikasi dari sifat-sifat Allah itu sendiri dan Allah sendiri suka memberi kepada siapa saja tidak terkecuali. maka manusia itu sebenarnya di suruh mencotoh sifat Allah. karna perbendaharaan tuhan tidak akan kosong dan itu sesuai dengan firman Allah dalam surah QS Al-An'am/6:160. maka jelaslah zakat adalah membentuk manusia yang bersih jiwanya sesuai kehendak tuhan itu sendiri.

wassalam jack kalijaga
posted by Jalan trabas @ 20:58
0 Comments:

SALAM SEJATI

۞.
Pengenalan Amalan Dzat Menurut Tasawuf Jawa
Ini adalah isi wirid yang menjadi bekal bagi murad/guru serta maksudnya, sebagai pembuka Hidayat yang menjadi petunjuk untuk memahami ilmu makrifat. Berasal dari dalil, hadist, ijma dan qiyas.
Dalil maksudnya penjelasan tentang firman Allah. hadist berisi tentang keteladanan Rasulullah. Ijma adalah kumpulan wejangan para wali. Qiyas adalah penyebaran ajaran para pandhita/ulama.

Kesemuanya ini menjadi pembuka dalam proses penjelasan rahasia ghaib tentang kesejadian hidup, agar hidupnya tentram, lestaru dari awal sampai akhir. Setidak-tidaknya, sebagai hamba apabila sudah sampai ajal yang telah di tentukan mudah-mudahan bahagia dalam kesempurnaan hakikat, mulia keadaanya di alam baka jangan sampai jatuh kedalam alam kesesatan. Adapun yang menjadi intisari ilmu makrifatini bersumber dari hadist sabda kanjeng Nabi Muhammad, yang beliau wejangkan kepada sayyidina Ali. Yakni tentang adanya Dzat sebagaimana tersebut dalam dalil utama, dari firman Tuhan yang maha suci, dibidikkan melalui telinga kiri. Bunyinya sbb: Sesungguhnya tidak ada apa-apa, karena ketika masih awung-awung/kosong belum ada sesuatupun. Yang ada saat itu hanyalah Aku. Tidak ada Tuhan selain Aku, dzat sejati yang maha suci, yang meliputi sifat-ku, menyertai namaku, dan menandai perbuatanku.

Pengertiannya sebagai berikut: Sesungguhnya yang mengatakan bahwa Dzat adalah maha suci itu tiada lain adalah hidup kita sendiri, karena ketitipan rahasia Dzat yang agung. Yang meliputi sifat ini tiada lain adalah rupa kita sendiri, karena ketambahan warna Dzat yang elok. Yang menyertai nama itu tiada lain adalah nama kita sendiri, karena telah diakui sebagai sebutan bagi Dzat yang mahakuasa.

Buktinya bisa dilihat bahwa tingkah laku kita sendiri benar-benar mencerminkan perbuatan Dzat yang sempurna. Bisa dikatakan, Dzat itu mengandung sifat, sifat menyertai nama, nama memberikan tanda bagi perbuatan, dan perbuatan menjadi wahana bagi Dzat. Hubungan antara Dzat dan sifat ini bisa diumpamakan seperti madu dan manisnya. Jelas keduanya tidak bisa dipisahkan. Sifat menyertai nama ini dapat diumpamakan seseorang yang bercermin dengan bayangan dalam cermin tersebut. Tentu, apa saja yang dilakukan seseorang tadi akan diikuti oleh bayanganya.

Jadi sebenarnya, yang di sebut Dzat itu adalah tajjali/ penampakan muhammad. Sedangkan yang bernama muhammad itu adalah wahana cahaya yang meliputi badan. Ia berada dalam hidup kita. Hidup itu sendiri mandiri tanpa ada yang menghidupkan , oleh karena itu ia berkuasa, mendengar, mencium, berbicara dan merasakan rasa. Semua itu berasal dari kodrat Dzat kita sendiri.

Maksudnya, Dzat Tuhan yang maha suci melihat dengan mata kita, mendengar dengan telinga kita, mencium dengan hidung kita, bersabda dengan mulut kita, dan merasakan semua rasa dengan alat perasa kita. Tidak perlu khawatir dalam pikiran karena wahana wahya dyatmiko ada dalam diri kita. Maksudnya, lahir batinya Allah sudah ada dalam hidup kita pribadi. Jika diperibahasakan, lebih tua Dzat manusia dari pada sifat Allah, karena kejadian Dzat itu lebih terdahulu pada zaman azali serta kekal, paling dahulu di kala masih hampa keadaan kita. Sedangkan kejadian sifat itu adalah baru ketika berada di alam dunia.

Akan tetapi keduanya saling tarik-menarik menguatkan. Semua Dzat pasti mengandung sifat dan semua yang bersifat pasti memiliki Dzat. Tentang urutan kejadian Dzat dan sifat ini disebutkan pada dalil kedua, dari firman Tuhan yang maha suci sbb:

Sesungguhnya Aku adalah Dzat yang maha pencipta dan maha kuasa, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu,terjadi dalam seketika, sempurna lantaran kodrat-ku. Sebagai pertanda perbuatanku, sebagai kenyataan kehendak-ku. Mula-mula aku menciptakan hayyu bernama syajaratul yakin. Tumbuh dalam alam adam makdum yang azali abadi. Setelah itu cahaya bernama nur muhammad, cermin bernama mir’atul haya’i, nyawa bernama roh idhafi, lampu bernama kandil, permata bernama dharrah, dan dinding jalal bernama hijab yang menjadi penutup hadirat-ku.

Maksudnya sebagai berikut:
1. Syajaratul Yakin
Tumbuh dalam alam hampa yang sunyi senyap azali abadi. Ia adalah pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa dan sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatupun. Ia merupakan Hakikat Dzat mutlak yang qadim. Artinya, ia adalah hakikat yang pasti dan paling dahulu, yaitu Dzat atma yang menjadi wahana bagi alam ahadiyat.

2. Nur Muhammad
Artinya cahaya yang terpuji. Dikisahkan dalam hadist, ia seperti burung merak, berada dalam permata putih dan berada pada arah Syaratul Yakin. Itulah hakikat cahaya yang diakui tajalli Dzat, berada dalam nukat ghaib, merupakan sifat atma dan menjadi wahana bagi alam wahdah.

3. Mir’atul Haya’i
Artinya adalah kaca wira’i. Dikisahkan dalam hadist, ia berada di depan Nur Muhammad. Ia adalah hakikat pramana yang diakui rahsa Dzatnya, sebagai nama bagi atma serta menjadi wahana bagi alam wahidiyat.
4. Roh Idhafi

Artinya adalah nyawa yang jernih. Dikisahkan dalam hadist, ia berasal dari Nur Muhammad. Ia adalah Hakikat suksma yang diakui sebagai keadaan Dzat, serta merupakan perbuatan atma. Ia menjadi wahana bagi alam arwah.

5. Kandil
Artinya adalah lampu tanpa api. Dikisahkan dalam hadist, ia berupa permata, cahaya berkilauan, serta bergantung pada alat pengait. Itulah keadaan Nur Muhammad dan tempatnya berkumpul semua ruh. Ia adalah Hakikat angan-angan yang diakui sebagai bayangan Dzat, bingkai bagi atma dan menjadi wahana alam misal.

6. Dharrah
Artinya adalah permata. Dikisahkan dalam hadist, ia memiliki sinar yang beraneka warna, satu tempat dengan para malaikat. Ia menjadi hakikat budi, yang diakui sebagai perhiasan Dzat, pintu nama, dan menjadi wahana alam ajsam.

7. Hijab
Artinya adalah dinding yang agung dan disebut sebagai dinding jalal. Dikisahkan dalam hadist, ia adalah yang timbul dari permata beraneka warna. Pada saat bergerak akan menimbulkan buih, asap, dan air. Ia adalah hakikat jasad, merupakan tempat bagi atma, dan menjadi wahana bagi alam Insan Kamil .
Menurut keterangan dai ijma’ dan qiyas, dinding agung yang berupa buih, asap, dan air tadi dibagi menjadi 3 bagian.

1.Buih,
mengeluarkan tiga hijab yaitu
a. Hijab kisma, menjadi perwujudan jasad luar seperti kulit, daging, dan sebagainya.
b.Hijab Rukmi, menjadi perwujudan jasad dalam, seperti otak, manik, hati, jantung , dan sebagainya.
c.Hijab Retna, menjadi perwujudan jasad yang lembut seperti mani, darah, sumsum, dan sebagainya.
2. Asap
a.Hijab kegelapan, menjadi perwujudan nafas dan yang lainya
b.Hijab guntur, menjadi perwujudan panca indra
c. Hijab api, menjadi perwujudan nafsu.
3. Air
a. Hijab embun air hidup, menjadi perwujudan suksma
b. Hijab nur rasa, menjadi perwujudan rahsa
c. Hijab nur cahaya yang sangat terang, menjadi perwujudan atma.

Semua itu merupakan dinding bagi Dzat yang berada pada insan kamil atau manusia sempurna. Tidak perlu kuatir karena keadaan Arsy, kursi, lauh mahfudz, kalam, timbangan, jembatan shiratal mustaqim, surga, neraka, bumi, langit, dan semua isinya ini sudah termasuk dalam tabir yang diimbasi oleh Dzat kita yang maha agung. Ia terpancar menjadi keelokan sifat kita yang tunggal, menyertai nama kita yang berkuasa, menandai kekuasaan perbuatan kita yang sempurna.

Sesungguhnya Aku menciptakan Adam berasal dari empat unsur yakni tanah, api, amgin dan air. Semuanya menjadi perwujudan sifat-ku, untuk Aku masuki lima macam mudah yaitu nur, rahsa, roh, nafsu, dan budi untuk menjadi penutup wajah-ku yang maha suci.

Maksudnya, mudah itu adalah Dzat hamba, wajah itu adalah Dzat gusti yang bersifat kekal. Dalam suatu hadist. Disebutkan bahwa masuknya mudah kedalam jasad melalui lima macam proses. Bermula dari ubun-ubun, berhenti di otak, turun ke mata, turun ke telinga, turun ke hidung, turun ke ulut, turun kedada, tersebar ke seluruh tubuh, dan akhirnya sempurna menjadi insan kamil.

Inilah kehendak tambahan dari Dzat yang maha suci. Ia menciptakan singgasana Dzat , diatur dalam baitullah menjadi tiga susunan. Semua itu merupakan kenyataan. Segala sesuatu merupakan ciptaan Dzat yang maha agung, maha mulia, maha kekal tanpa ada perubahan. Disebutkan dalam tiga buah firman Tuhan yang maha suci.

1. Ayat pertama tentang susunan singgasana dalam Baitul Makmur.
Sesungguhnya Aku mengatur singgasana dalam baitul makmur, yaitu rumah tempat kesukaanku. Tempat itu berada dalam kepala adam. Dalam kepala itu ada otak, dalam otak itu ada manik, dalam manik itu ada budi, dalam budi ada nafsu, dalam nafsu ada suksma, dalam suksma ada rahsa, dalam rasa ada aku. Tidak ada Tuhan selain aku,dzat yang meliputi semua keadaan.

2. Ayat kedua tentang susunan dalam baitul Muharram.
Sesungguhnya Aku mengatur singgasana berada dalam baitul muharram, yaitu rumah tempat pingitanku. Tempat itu berada di dalam dada adam, didalam dada adam ada hati hati, didalam hati itu ada jantung, didalam jantung itu ada budi, didalam budi itu ada jinem/angan-angan, didalam jinem ada suksma, didalam suksma ada rahsa, didalam rahsa ada Aku, tidak ada Tuhan selain Aku, Dzat yang meliputi semua keadaan.

3.Ayat ketiga tentang susunan singgasana Baitul Muqaddas.
Sesungguhnya Aku mengatur singgasana di dalam baitul muqaddas. Itu adalah rumah, tempat yang Aku sucikan. Berada dalam kontholnya adam. Dalam konthol itu ada pringsilan/buah pelir, diantara pringsilan itu ada nutfah yaitu mani, didalam mani ada itu ada madi, di dalam madi ada wadi, didalam wadi itu ada manikem, dalam manikem ada itu ada rahsa, dalam rahsa itu ada aku, tidak ada Tuhan selainn Aku, Dzat yang meliputi semua keadaan, bertakhta dalam nukat gaib, turun menjadi jauhar awal. Disitulah alam ahadiyat berada /alam wahdah dan alam wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, dan alam insan kamil, menjadi manusia sempurna yaitu sifatku yang sejati.

Setelah memahami firman Tuhan diatas, maka bijaksanalah dalam hati sebagai perwujudan syukur karena telah menerima anugerah. Anugerah itu adalah pemahaman tentang Dzat Tuhan, yakni menerima sifat sebagai hamba yang telah manunggal dengan Tuhan tanpa batas dalam badan kita.

Penjelasan dari ayat di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, tentang unsur-unsur yang terdapat dalam Baitul Makmur, artinya rumah yang makmur.
Kepala adalah bentuk lahir dari Baitul Makmur.
*Otak adalah keadaan kontha, yang dapat menarik terangnya cahaya dan merupakan pembuka bagi pemahaman tentang Dzat.
*Manik adalah keadaan pramana, memperjelas warna, dan menjadi pangkal penglihatan.
*Budi adalah keadaan pranawa, memperjelas kehendak, dan menjadi pangkal dalam berbicara.
*Nafsu adalah keadaan hawa, memperjelas suara, dan menjadi pangkal bagi pendengaran.
*Suksma adalah keadaan nyawa, memperjelas cipta, dan menjadi pangkal penciuman.
*Rahsa adalah keadaan atma, memperjelas kuasa, dan menjadi pangkal bagi perasaan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka para guru yang mengajarkan tentang susunan singgasana dalam baitul makmur ini berpesan agar tidak makan otak dan manik. Bahkan jangan sampai ada keinginan untuk makan kesuanya. Manfaatnya, menurut pengalaman yang sudah-sudah, ilmunya akan diterima.
Kedua, tentang unsur-unsur yang terdapat dalam baitul muharram, artinya rumah tempat bagi hal-hal yang dilarang.
*Dada adalah bentuk lahir keadaan baitul muharram.
*Hati adalah keadaan panca indra,memperjelas nafsu, dan menjadi pangkal munculnya nafas.
*Jantung adalah keadaan panca maya, memperjelas rasa birahi, dan menjadi pangkal timbulnya denyutan.
*Budi adalah keadaan pranawa, memperjelas kehendak, dan menjadi pangkal munculnya pembicaraan.
*Jinem adalah keadaan angan-angan, memperjelas suara, dan menjadi pangkal munculnya pendengaran.
*Suksma adalah keadaan nyawa, memperjelas cipta, dan menjadi pangkal bagi timbulnya penciuman.
*Rahsa adalah keadaan atma, memperjelas kekuasaan, dan menjadi pangkal munculnya perasaan.

Guru yang mengajarkan ilmu tentang susunan singgasana dalam baitul muharram ini juga berpesan agar tidak makan hati dan jantung. Bahkan jangan sampai ada keinginan untuk memakan keduanya.
Manfaatnya, menurut pengalaman yang sudah-sudah, sering di terima ilmunya.
Ketiga, tentang unsur-unsur yang terdapat dalam baitul muqaddas, artinya rumah yang disucikan.
*Konthol adalah bentuk lahir dari baitul muqaddas.
*Buah pelir adalah keadaan purba, diresapi rasa birahi, serta menimbulkan asmaranala yakni tertariknya hati.
*Mani adalah keadaan kontha, diresapi hawa nafsu, serta menimbulkan asmaratura yakni tertariknya penglihatan
*Madi adalah keadaan warna, diresapi oleh kehendak, serta menimbulkan asmaraturida yakni tertariknya pendengaran.
*Wadi adalah keadaan rupa, diresapi daya pemikiran,serta menimbulkan asmaradana yakni tertariknya kesamaan pembicaraan.
*Manikem adalah keadaan suksma, diresapi oleh perasaan, serta menimbulkan asmaratantra, yakni rasa tertarik karena bersinggungan.
*Rahsa adalah keadaan atma, diresapi rasa kuasa, serta menimbulkan asmaragama, yakni kesenangan yang timbul dalam bersenggama.

Guru yang mengajarkan tentang ilmu susunan singgasana dalam baitul muqaddas ini berpesan agar tidak makan daging buah pelir dan semacamnya. Setidaknya jangan sampai mengobral kata mani. Manfaatnya menurut pengalaman yang sudah-sudah, akan diterima ilmunya.
Setelah paham, sebaiknya ia mengamalkan amalan yang dapat memperteguh kekuatan iman, yakni syahadat jati yang dibaca di dalam hati. Bunyi syahadat tersebut adalah:
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Aku. Dan Aku bersaksi bahwa sesungguhnya muhammad itu adalah utusanku.

Setelah memahami makna syahadat jati ini, kemudian mengangkat janji terhadap sanak saudara kita, yaitu semua makhluk yang tersebar di penjuru dunia seperti langit, bumi, matahari, bintang, bulan, api, angin, air dan sebagainya. agar semuanya menjadi saksi bahwa kita telah mengaku menjadi Dzat Tuhan yang maha suci.

Menjadi sifat Allah yang sesungguhnya, menyebut dalam batin sbb:
Aku bersaksi kepada Dzatku sendiri bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku. Dan Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah utusan-ku.sesungguhnya yang bernama Allah itu adalah badanku rasul itu adalahrahsaku, muhammad itu adalah cahayaku. Akulah yang senantiasa hidup dan tidak akan pernah mati. Akulah yang selalu ingat dan tidak akan pernah lupa. Akulah yang kekal abadi dan tidak pernah mengalami perubahan dalam keadaan apapun. Akulah yang bijaksana. tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-ku. Akulah yang maha kuasa, berkuasa lagi bijaksana, tidak ada kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benderang, tidak dapat diraba, tidak kelihatan, hanya aku yang meliputi alam semesta karena kodrat-ku.

Sumber serat wirit hidayat jati dan para pengamal ajaran tersebut
Jack kalijaga


posted by Jalan trabas @ 05:49