Rabu, 16 Desember 2009

Hakikat Basmallah

۞.Hakikat Basmallah
Menurut Ibnu Araby dalam Kitab Tafsir Tasawufnya, “Tafsirul Qur’anil Karim” menegaskan, bahwa dengan (menyebut) Asma Allah, berarti Asma-asma Allah Ta’ala diproyeksikan yang menunjukkan keistimewaan-nya, yang berada di atas Sifat-sifat dan Dzat Allah Ta’ala. Sedangkan wujud Asma itu sendiri menunjukkan arah-Nya, sementara kenyataan Asma itu menunjukkan Ketunggalan-Nya.Allah itu sendiri merupakan Nama bagi Dzat (Ismu Dzat) Ketuhanan. dari segi Kemutlakan Nama itu sendiri. Bukan dari konotasi atau pengertian penyifatan bagi Sifat-sifat-Nya, begitu pula bukan bagi pengertian “Tidak membuat penyifatan”.“Ar- Rahman” adalah predikat yang melimpah terhadap wujud dan keparipurnaan secara universal. menurut relevansi hikmah. dan relevan dengan penerimaan di permulaan pertama.
“Ar-Rahiim” adalah yang melimpah bagi keparipurnaan maknawi yang ditentukan bagi manusia jika dilihat dari segi pangkal akhirnya. Karena itu sering. disebutkan, “Wahai Yang Muha Rahman bagi Dunia dan akhirat, dan Maha Rahim bagi akhirat”.
Artinya, adalah proyeksi kemanusiaan yang sempuma, dan rahmat menyeluruh, baik secara umum maupun khusus, yang merupakan manifestasi dari Dzat Ilahi. Dalam konteks, inilah Nabi Muhammad saw. Bersabda, “Aku diberi anugerah globalitas Kalam, dan aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (menuju) paripurna akhlak”.
Karena. kalimat-kalimat merupakan hakikat-hakilkat wujud dan kenyataannya. Sebagaimana Isa as, disebut sebagai Kalimah dari Allah, sedangkan keparipurnaan akhlak adalah predikat dan keistimewaannya. Predikat itulah yang menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang terkristal dalam jagad kemanusiaan. Memahaminya sangat halus. Di sanalah para Nabi - alaihimus salam - meletakkan huruf-huruf hijaiyah dengan menggunakan tirai struktur wujud. Kenyataan ini bisa djtemukan dalam periode! Isa as, periode Amirul Mukminin Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah, dan sebagian masa sahabat, yang secara keseluruhan menunjukkan kenyataan tersebut.
Disebutkan, bahwa Wujud ini muncul dari huruf Baa’ dari Basmalah. Karena Baa’ tersebut mengiringi huruf Alif yang tersembunyi, yang sesungguhnya adalah Dzat Allah. Disini ada indikasi terhadap akal pertama, yang merupakan makhluk awal dari Ciptaan Allah, yang disebutkan melalui firman-Nya, “Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih Kucintai dan lebih Kumuliakan ketimbang dirimu, dan denganmu Aku memberi. denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi pahala dan denganmu Aku menyiksa”. (Al-hadits).
Huruf-huruf yang terucapkan dalam Basmalah ada 18 huruf. Sedangkan yang tertera dalam tulisan berjumlah 19 huruf. Apabila kalimat-kalimat menjadi terpisah. maka jumlah huruf yang terpisah menjadi 22.
Delapan belas huruf mengisyaratkan adanya alam-alam yang dikonotasikannya dengan jumlahnya. 18 ribu alam. Karena huruf Alif merupakan hitungan sempurna yang memuat seluruh struktur jumlah. Alif merupakan induk dari seluruh strata yang tidak lagi ada hitungan setelah Alif. Karena itu dimengerti sebagai induk dari segala induk alam yang disebut sebagai Alam Jabarut, Alam Malakut, Arasy, Kursi, Tujuh Langit., dan empat anasir, serta tiga kelahiran yang masing masing terpisah dalam bagian-bagian tersendiri.
Sedangkan makna sembilan belas, menunjukkan penyertaan Alam Kemanusiaan. Walau pun masuk kategori alam hewani, namun alam insani itu menurut konotasi kemuliaan dan universalitasnya atas seluruh alam dalam bingkai wujud, toh ada alam lain yang memiliki ragam jenis yang prinsip. Ia mempunyai bukti seperti posisi Jibril diantara para Malaikat.Tiga Alif yang tersembunyi yang merupakan pelengkap terhadap dua puluh dua huruf ketika dipisah-pisah, merupakan perunjuk pada Alam Ilahi Yang Haq, menurut pengertian Dzat. Sifat dan Af ‘aal. Yaitu tiga Alam ketika dipisah-pisah, dan Satu Alam ketika dinilai dari hakikatnya.
Sementara tiga huruf yang tertulis menunjukkan adanya manifestasi alam-alam tersebut pada tempat penampilannya yang bersifat agung dan manusiawi.
Dan dalam rangka menutupi Alam Ilahi, ketika Rasulullah saw, ditanya soal Alif yang melekat pada Baa’, “dari mana hilangnya Alif itu?” Maka Rasulullah saw, menjawab, “Dicuri oleh Syetan”.
Diharuskannya memanjangkan huruf Baa’nya Bismillah pada penulisan, sebagai ganti dari Alifnya, menunjukkan penyembunyian Ketuhanannya predikat Ketuhanan dalam gambaran Rahmat yang tersebar. Sedangkan penampakannya dalam potret manusia, tak akan bisa dikenal kecuali oleh ahlinya. Karenanya, dalam hadist disebutkan, “Manusia diciptakan menurut gambaran Nya”.
Dzat sendiri tersembunyikan oleh Sifat, dan Sifat tersembunyikan oleh Af’aal. Af’aal tersembunyikan oleh jagad-jagad dan makhluk.
Oleh sebab itu, siapa pun yang meraih Tajallinya Af’aal Allah dengan sirnanya tirai jagad raya, maka ia akan tawakkal. Sedangkan siapa yang meraih Tajallinya Sifat dengan sirnanya tirai Af’aal, ia akan Ridha dan Pasrah. Dan siapa yang meraih Tajallinya Dzat dengan terbukanya tirai Sifat, ia akan fana dalam kesatuan. Maka ia pun akan meraih Penyatuan Mutlak. Ia berbuat, tapi tidak berbuat. Ia membaca tapi tidak membaca “Bismillahirrahmaanirrahiim”.
Tauhidnya af’aal mendahului tauhidnya Sifat, dan ia berada di atas Tauhidnya Dzat. Dalam trilogi inilah Nabi saw, bermunajat dalam sujudnya, “Tuhan, Aku berlindung dengan ampunanmu dari siksaMu, Aku berlindung dengan RidhaMu dari amarah dendamMu, Aku berlindung denganMu dari diriMu”.
posted by Jalan trabas @ 10:35

Rabu, 02 September 2009

Islam dan Mistik Jawa

۞.Islam Dan mistik Jawa
Berjalanlah, seorang dewa Hindu, Wisnu didorong oleh keinginannya yang besar untuk mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh, dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke negeri Rum (Turki), salah satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaah Daulah Usmaniyah. Untuk mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun menganut dua agama sekaligus, lahir tetap dewa Hindu namun batinnya telah menganut Islam.

Dan demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan pada masa itu Seh Suman bisa menghadiri musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan wejangan enam mursid (guru sufi):1) Seh Sumah,2) She Ngusman Najid,3) Seh Suman sendiri,4) Seh Bukti Jalal,5) Seh Brahmana dan6) Seh Takru Alam.

Demikianlah ikhtisah Suluk Saloka Jiwa karya pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabei Ranggawarsita, kitab ini nampaknya diilhami oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membehas ilmu kasampuranan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat.

Serat Soluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari masa manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sanggkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah SWT itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah :* al-nur yang kemudian terpancar darinya 4 unsur : tanah, api, udara, dan air.* Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari 4 unsur: darah, daging, tulang dan tulang rusuk.

Api melahirkan 4 jenis jiwa/nafsu : aluamah (dlm ejaan Arab lawwmah) yang memancarkan :1) warna hitam;2) amarah (ammarah) memancarkan warna merah;3) supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan4) mutmainah (muthma’inah) berwarna putih.
Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.

Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kejawen yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Namun demikian, konsep tentang nafsu-nafsu itu kemudian berkembang dikalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan penganut kebatinan Jawa nonmuslim.

Demikianlah ikhtisar Suluk Saloka Jiwa sebagaimana dirangkumkan oleh Simuh (1991: 76). Menurut Simuh, kitab ini tampaknya “di-ilhami” oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membahas ilmu kasampurnan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat. Pendapat senada terdapat dalam disertasi Dr Alwi Shihab di Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma’asir. Hanya saja, dalam disertasi Shihab, nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Seh Suman ditulisnya sebagai Sulaiman, Seh Ngusman Najid ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu, alur cerita yang digambarkan tidak berbeda. Keduanya juga menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya menyinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme), inti pokok ajaran kebatinan Jawa.

Serat Suluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari mana manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sangkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah al-nur yang kemudian terpancar darinya tanah, api, udara, dan air. Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari empat unsur: darah, daging, tulang-tulang, dan tulang rusuk. Api melahirkan empat jenis jiwa/nafsu: aluamah (dalam ejaan Arab lawwamah) yang memancarkan warna hitam; amarah (ammarah) memancarkan warna merah; supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan mutmainah (muthma’inah) yang berwarna putih. Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.

Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kebatinan Jawa yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Dalam kaitan pemilahan an-nafs(nafsu) ini, Al-Ghazali membagi tujuh macam nafsu, yaitu mardhiyah, radhiyah, muthmainah, kamilah, mulhammah, lawwamah, dan ammarah(Rahardjo; 1991: 56). Namun, yang berkembang dalam kebatinan Jawa bukan tujuh macam nafsu, namun tetap empat nafsu di atas.

Seorang dokter-cendekiawan Jawa dari Semarang, dr Paryana Suryadibrata, pada tahun 1955, pernah menulis karangan “Kesehatan Lahir dan Batin” bersambung lima nomor di Majalah Media Yogyakarta. Ia, misalnya, menyebut 4 (empat) macam tingkatan nafsu manusia:1. ammarah(egosentros) ,2. supiyah(eros) ,3. lawwamah(polemos) , dan4. muthmainah(religios ).

Konsep tentang empat nafsu itu kemudian berkembang luas di kalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan kebatinan Jawa yang non-muslim. Karena itu, tidak salah jika Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen.

Sinkretisme atau Varian Islam?
· Lantas, apa yang bisa diambil bagi generasi masa kini atas keberadaan Suluk Saloka Jiwa?
· Benarkah Ranggawarsita, dengan karya suluknya ini, telah membawa bentuk sinkretisme Islam-Jawa?
· Lantas, mungkinkah semangat pencarian titik temu antar-nilai suatu agama ini bisa dijadikan desain strategi budaya untuk membangun pola relasi antar-umat beragama di Indonesia dewasa ini?

Pertanyaan-pertanya an ini agaknya tidak bisa dipandang enteng, mengingat kompleksnya permasalahan. Yang jelas, masing-masing pertanyaan di atas memiliki korelasi dengan konteksnya masing-masing, tinggal bagaimana seorang penafsir mengambil sudut pandang. Anggapan bahwa ajaran mistik Jawa sebagaimana tercermin dalam Suluk Saloka Jiwa merupakan bentuk sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hinduisme) boleh dikata merupakan pendapat yang umum dan dominan. Apalagi, sejak semula Ranggawarsita sendiri-lewat karyanya itu-seakan telah memberi legitimasi bahwa memang terdapat paralelisme antara Islam dan Hinduisme. Hal ini seperti tercermin dalam kutipanpupuh berikut ini:Yata wahu / Seh Suman sareng angrungu / pandikanira / sang panditha Ngusman Najid / langkung suka ngandika jroning wardoyo // Sang Awiku / nyata pandhita linuhung / wulange tan siwah / lan kawruhing jawata di / pang-gelare pangukute tan pra beda // .
Artinya:Ketika Seh Suman (Wisnu) mendengar ajaran Ngusman Najid, sangat sukacita dalam hatinya. Sang ulama benar-benar tinggi ilmunya, ajarannya ternyata tidak berbeda dengan ajaran para dewa (Hinduisme). Pembeberan dan keringkasannya tidak berbeda dengan ilmu kehinduan. Atas pernyataan ini, kalangan pakar banyak yang berpendapat bahwa Ranggawarsita seperti telah menawarkan pemikiran “agama ganda” bagi orang Jawa, yaitu lahir tetap Hindu namun batin menganut Islam, karena antara Hindu dan Islam menurutnya memang terdapat keselarasan teologi. Simuh, misalnya, menyatakan, “Maka, menurut Ranggawarsita, tidak halangan bagi priayi Jawa menganut agama rangkap seperti Dewa Wisnu: Lahir tetap hindu sedangkan batin mengikuti tuntunan Islam” (Simuh; 1991: 77).

Tafsiran demikian ini tidak dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu. Hal tersebut tidak terlepas dari strategi budaya yang diterapkan keraton-keraton Islam di Jawa pasca-Demak, yang mencari keselarasan antara masyarakat pesisiran yang kental dengan ajaran Islam dan masyarakat pedalaman yang masih ketat memegang keyakinan-keyakinan yang bersumber dari Hindu, Buddha, dan kepercayaan- kepercayaan asli,agar tidak ada perpecahan ke agamaan. Upaya-upaya ini telah dilakukan secara sistematis, utamanya sejak dan oleh Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam. Di antaranya, Sultan Agung mengubah kalender Saka (Hindu) menjadi kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Saka dan sistem penanggalan Islam (Hijriah).

Namun, benarkah bahwa Islam Jawa merupakan bentuk sinkretisme Islam dengan ajaran Hindu, Buddha dan kepercayaan Jawa? Pendapat yang dominan memang demikian, khususnya bagi yang mengikuti teori trikotomi-santri- priayi-abangan- Clifford Geertz sebagaimana tercermin dalam The Religion of Java yang monumental itu. Namun, seorang pakar studi Islam lainnya, Mark R Woodward, yang melakukan penelitian lebih baru dibanding Geertz, yaitu pada tahun 1980-an, berkesimpulan lain.
Woodward, yang sebelumnya telah melakukan studi tentang Hindu dan Buddha, ternyata tidak menemukan elemen-elemen Hindu dan Buddha dalam sistem ajaran Islam Jawa. “Tidak ada sistem Taravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava yang saya pelajari yang tampak dikandungnya (Islam Jawa) kecuali sekadar persamaan… sangat sepele,” demikian tulis Woodward (1999: 3).

Bagi Wordward, Islam Jawa-yang kemudian disimplikasikan sebagai kejawen-sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hindu dan Buddha), tetapi tidak lain hanyalah varian Islam, seperti halnya berkembang Islam Arab, Islam India, Islam Syiria, Islam Maroko, dan lain-lainnya. Yang paling mencolok dari Islam Jawa, menurutnya, kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Buddha yang paling maju atau sophisticated (ibid: 353). Perubahan itu terjadi dengan begitu cepatnya, sehingga masyarakat Jawa seakan tidak sadar kalau sudah terjadi transformasi sistem teologi.

Dengan demikian, konflik yang muncul dengan adanya Islam Jawa sebenarnya bukanlah konflik antar-agama (Islam versus Hindu dan Buddha), melainkan konflik internal Islam, yakni antara Islam normatif dan Islam kultural, antara syariah dan sufisme. Dalam kaitan ini, Woodward menulis:
“Perselisihan keagamaan (Islam di Jawa) tidak didasarkan pada penerimaan yang berbeda terhadap Islam oleh orang-orang Jawa dari berbagai posisi sosial, tetapi pada persoalan lama Islam mengenai bagaimana menyeimbangkan dimensi hukum dan dimensi mistik.” (ibid: 4-5).Namun, harus diakui, menyimpulkan apakah Suluk Saloka Jiwa mengajarkan sinkretisme Islam dan Hindu-Buddha atau tidak memang tidak gampang. Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Namun,
pendapat Woodward bahwa problem keagamaan di Jawa lebih karena faktor konflik Islam normatif dan Islam kultural tersebut juga bukan tanpa alasan, setidak-tidaknya memang konsep nafs (nafsu) seperti yang ditulis Ranggawarsita itu memang sulit dicarikan rujukannya dari sumber-sumber literatur Hindu, Buddha ataupun kepercayaan asli Jawa, namun akan lebih mudah ditelusur dengan mencari rujukan pada literatur-literatur tasawuf (sufisme) Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, As-Suhrawardi, Hujwiri, Qusyayri, Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi Islam lainnya.

Kekhawatiran bahwa Islam Jawa kemungkinan akan “menyeleweng” dari Islam standar tidaklah hanya dikhawatirkan oleh kalangan Islam modernis saja, melainkan kelompok-kelompok lain yang mencoba menggali Islam Jawa dan mencoba mencocokkannya dengan sumber-sumber Islam standar. Seorang intelektual NU, Ulil Abshar-Abdalla, ketika mengomentari Serat Centhini (Bentara, Kompas, edisi 4 Agustus 2000), menulis sebagai berikut:

Yang ingin saya tunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini [Serat Centhini], tetapi telah mengalami “pembacaan” ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai “teks besar” yang “membentuk” kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodoksi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk “membaca kembali” Islam dalam konteks setempat, tanpa ada ancaman kekikukan dan kecemasan karena “menyeleweng” dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan “resistensi” . Penolakan tampil dalam nada yang “subtil”, dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme”.. ..
Ulil-Abshar barangkali ingin mengatakan inilah cara orang Jawa melakukan perlawanan: Menang tanpa ngasorake… Islam tampaknya telah mengalami kemenangan di Jawa, namun sesungguhnya Islam telah “disubversi” sedemikian rupa, dengan menggunakan tangan Islam sendiri, sehingga sesungguhnya yang tetap tampil sebagai pemenang adalah Jawa.

Dari Mitis ke Epistemologis
Pada akhirnya, dalam kaitannya relasi Islam-Jawa, bila yang digunakan pendekatan adalah pandangan “kita” versus “mereka”, dan karena itu “Jawa” dan “Islam” berada dalam posisi oposisional dan tanpa bisa didialogkan, serta mendudukannya secara vis-a-vis, maka sebenarnya tanpa sadar kita pun telah ikut melegitimasi konflik. Kalau itu yang terjadi, dalam konteks pembangunan toleransi antarpihak, kita sebenarnya tidak memberikan resolusi, namun justru antisolusi. Karena itu, dalam konteks ini, resolusi harus dicarikan pendekatan lain. Dan pendekatan yang layak ditawarkan adalah pendekatan transformatif, yaitu tranformatif dari cara berpikir “mitis” ke pola berpikir “epistemologis.

Transformasi berpikir “mitis” ke “epistemologis” adalah membawa alam pikiran masyarakat dari semula yang “tidak berjarak” dengan alam menuju cara berpikir yang “mengambil jarak” dengan alam. Dengan adanya keberjarakan dengan alam, manusia bisa memberi penilaian yang obyektif terhadap alam semesta. Ini tentu saja berbeda dengan cara berpikir “mitis”, manusia berada “dalam penguasaan” alam.
Karena itu, ketika mereka gagal memberi rasionalitas terhadap gejala-gejala alam, seperti gunung meletus, angin topan, banjir bandang, maka yang dianggap terjadi adalah alam sedang murka. Berpikir mitos pada akhirnya yang terjadi. Dengan berpikir epistemologis, mengambil jarak dengan alam, maka manusia bisa memberi gambaran yang rasional tentang alam, dan kemudian mengolahnya, demi kesejahteraan umat manusia. Alam pun berubah menjadi sesuatu yang fungsional, bermanfaat.
posted by Jalan trabas @ 17:01

Bukti Manusia Berjiwa Tuhan

۞.Zakat Bukti Manusia Berjiwa Tuhan

Zakat terbagi menjadi dua jenis : zakat yang di tentukan oleh syariat agama. kedua zakat menurut pandangan ahli tasawuf atau zakat hakikat. zakat yang di tentukan oleh syariat adalah zakat yang di keluarkan untuk harta kekayaan yang di peroleh secara halal di dunia, yang berasal dari kelebihan harta dalam keluarga, dan dibagikan kepada mereka yang memerlukan dan ashnaf-ashnaf zakat. dan yang berhak menerimanya fakir miskin dan orang terlantar lainya.

Zakat dari sudut pandang tasawuf adalah sebagian harta rohani yang di peroleh seseorang dan di bagikan yang memerlukanya, yakni fakir miskin dalam bidang rohani. zakat sejenis ini akan memberikan perwatakan untuk selalu memberikan sebagian dari semua hasilnya utk selalu di berikan orang lain, menolong mereka yang kelaparan, memperdayakan mereka yang menderita kemiskinan. apa saja yang diberikan dengan tujuan utk berzakat, pada hakikatnya terlebih dahulu jatuh ketangan Allah sebelum zakat itu jatuh ke tangan si penerimanya. karena itu sebenarnya zakat di perintahkan kepada kita,karena Allah sendiri maha pemberi segala keperluan. namun rahasia terdalamnya adalah agar menjadikan niat pemberi zakat untuk di terima Illahi.

Adapun mereka yang dekat dengan Allah mebagi-bagikan ganjaran rohaninya, hasil ibadah dan amal-salehnya dengan niat untuk menghadiahkan pahala amalan salehnya kepada orang-orang lain, yang derajat rohaninya berada di bawahnya, dan untuk orang-orang yang banyak kealpaanya kepada tuhan. dengan begitu Allah dengan segala rahmatnya mengampuni dosa-dosa hambanya yang berdosa dari hasil pembagian sebagian pahala dan ganjaran yang diperoleh hamba-hambanya yang saleh ini bentuk lain dari zakat rohani.

Tegasnya, orang sufi dalam kategori ini sangat merahmati orang awan yang lalai dan menyia-nyiakan dirinya sendiri, amalan mereka kurang, malah maksiatnya bertambah. orang seperti ini berada dalam bahaya rohani yang sangat besar.karena itu para orang-orang sufi menaruh perhatian yang sangat besar kepada orang orang-orang itu. sehingga amalan baik para orang sufi bukan hanya utk dirinya sendiri tetapi di tujukan kepada orang banyak yang lalai dalam memahami hakikat ketuhanan. orang awam kebanyakan miskin rohani sehingga tidak memiliki bahan untuk dapat mengenali hakikat perjalanan menuju tuhan. karena itulah para sufi menzakati dari amalan saleh, kepada mereka yang miskin rohani agar bertambah pengetahuanya tentang perjalanan sesungguhnya menuju illahi.

Zakat harta dan Zakat rohaninya itu adalah sebagai bentuk keinginan orang sufi atas kecintaan Allah,keridaan, rahmat, belas kasih, ampunan,perlindungan perhatian, kedekatan, dan duduknya bersama untuk merasakan cahayanya. dan akhirnya ia bisa melihat wajahnya.itulah puncak karunia tuhan.

Para sufi jawa kuno memberikan makna aplikasi zakat sebagai sikap menolong orang laen dari penderitaan dan kekurangan.menolong orang laen agar bisa hidup yang sebenarnya di sisi tuhan. sekaligus bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. dari berbagai kata zakat di dalam qur'an sendir ternyata mempunyai makna 1.tidak mendustakan kebenaran 2. tidak melakukan kedurjanaan 3. tidak mengikuti hawa nafsu 4. tidak berbuat melampui batas seperti banyak yang terjadi pada kaum sebelumnya. padahal kita itu di suruh untuk mengikuti kehendak Allah bukan mengikuti kehendak nafsunya. jadi zakat adalah aplikasi dari sifat-sifat Allah itu sendiri dan Allah sendiri suka memberi kepada siapa saja tidak terkecuali. maka manusia itu sebenarnya di suruh mencotoh sifat Allah. karna perbendaharaan tuhan tidak akan kosong dan itu sesuai dengan firman Allah dalam surah QS Al-An'am/6:160. maka jelaslah zakat adalah membentuk manusia yang bersih jiwanya sesuai kehendak tuhan itu sendiri.

wassalam jack kalijaga
posted by Jalan trabas @ 20:58
0 Comments:

SALAM SEJATI

۞.
Pengenalan Amalan Dzat Menurut Tasawuf Jawa
Ini adalah isi wirid yang menjadi bekal bagi murad/guru serta maksudnya, sebagai pembuka Hidayat yang menjadi petunjuk untuk memahami ilmu makrifat. Berasal dari dalil, hadist, ijma dan qiyas.
Dalil maksudnya penjelasan tentang firman Allah. hadist berisi tentang keteladanan Rasulullah. Ijma adalah kumpulan wejangan para wali. Qiyas adalah penyebaran ajaran para pandhita/ulama.

Kesemuanya ini menjadi pembuka dalam proses penjelasan rahasia ghaib tentang kesejadian hidup, agar hidupnya tentram, lestaru dari awal sampai akhir. Setidak-tidaknya, sebagai hamba apabila sudah sampai ajal yang telah di tentukan mudah-mudahan bahagia dalam kesempurnaan hakikat, mulia keadaanya di alam baka jangan sampai jatuh kedalam alam kesesatan. Adapun yang menjadi intisari ilmu makrifatini bersumber dari hadist sabda kanjeng Nabi Muhammad, yang beliau wejangkan kepada sayyidina Ali. Yakni tentang adanya Dzat sebagaimana tersebut dalam dalil utama, dari firman Tuhan yang maha suci, dibidikkan melalui telinga kiri. Bunyinya sbb: Sesungguhnya tidak ada apa-apa, karena ketika masih awung-awung/kosong belum ada sesuatupun. Yang ada saat itu hanyalah Aku. Tidak ada Tuhan selain Aku, dzat sejati yang maha suci, yang meliputi sifat-ku, menyertai namaku, dan menandai perbuatanku.

Pengertiannya sebagai berikut: Sesungguhnya yang mengatakan bahwa Dzat adalah maha suci itu tiada lain adalah hidup kita sendiri, karena ketitipan rahasia Dzat yang agung. Yang meliputi sifat ini tiada lain adalah rupa kita sendiri, karena ketambahan warna Dzat yang elok. Yang menyertai nama itu tiada lain adalah nama kita sendiri, karena telah diakui sebagai sebutan bagi Dzat yang mahakuasa.

Buktinya bisa dilihat bahwa tingkah laku kita sendiri benar-benar mencerminkan perbuatan Dzat yang sempurna. Bisa dikatakan, Dzat itu mengandung sifat, sifat menyertai nama, nama memberikan tanda bagi perbuatan, dan perbuatan menjadi wahana bagi Dzat. Hubungan antara Dzat dan sifat ini bisa diumpamakan seperti madu dan manisnya. Jelas keduanya tidak bisa dipisahkan. Sifat menyertai nama ini dapat diumpamakan seseorang yang bercermin dengan bayangan dalam cermin tersebut. Tentu, apa saja yang dilakukan seseorang tadi akan diikuti oleh bayanganya.

Jadi sebenarnya, yang di sebut Dzat itu adalah tajjali/ penampakan muhammad. Sedangkan yang bernama muhammad itu adalah wahana cahaya yang meliputi badan. Ia berada dalam hidup kita. Hidup itu sendiri mandiri tanpa ada yang menghidupkan , oleh karena itu ia berkuasa, mendengar, mencium, berbicara dan merasakan rasa. Semua itu berasal dari kodrat Dzat kita sendiri.

Maksudnya, Dzat Tuhan yang maha suci melihat dengan mata kita, mendengar dengan telinga kita, mencium dengan hidung kita, bersabda dengan mulut kita, dan merasakan semua rasa dengan alat perasa kita. Tidak perlu khawatir dalam pikiran karena wahana wahya dyatmiko ada dalam diri kita. Maksudnya, lahir batinya Allah sudah ada dalam hidup kita pribadi. Jika diperibahasakan, lebih tua Dzat manusia dari pada sifat Allah, karena kejadian Dzat itu lebih terdahulu pada zaman azali serta kekal, paling dahulu di kala masih hampa keadaan kita. Sedangkan kejadian sifat itu adalah baru ketika berada di alam dunia.

Akan tetapi keduanya saling tarik-menarik menguatkan. Semua Dzat pasti mengandung sifat dan semua yang bersifat pasti memiliki Dzat. Tentang urutan kejadian Dzat dan sifat ini disebutkan pada dalil kedua, dari firman Tuhan yang maha suci sbb:

Sesungguhnya Aku adalah Dzat yang maha pencipta dan maha kuasa, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu,terjadi dalam seketika, sempurna lantaran kodrat-ku. Sebagai pertanda perbuatanku, sebagai kenyataan kehendak-ku. Mula-mula aku menciptakan hayyu bernama syajaratul yakin. Tumbuh dalam alam adam makdum yang azali abadi. Setelah itu cahaya bernama nur muhammad, cermin bernama mir’atul haya’i, nyawa bernama roh idhafi, lampu bernama kandil, permata bernama dharrah, dan dinding jalal bernama hijab yang menjadi penutup hadirat-ku.

Maksudnya sebagai berikut:
1. Syajaratul Yakin
Tumbuh dalam alam hampa yang sunyi senyap azali abadi. Ia adalah pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa dan sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatupun. Ia merupakan Hakikat Dzat mutlak yang qadim. Artinya, ia adalah hakikat yang pasti dan paling dahulu, yaitu Dzat atma yang menjadi wahana bagi alam ahadiyat.

2. Nur Muhammad
Artinya cahaya yang terpuji. Dikisahkan dalam hadist, ia seperti burung merak, berada dalam permata putih dan berada pada arah Syaratul Yakin. Itulah hakikat cahaya yang diakui tajalli Dzat, berada dalam nukat ghaib, merupakan sifat atma dan menjadi wahana bagi alam wahdah.

3. Mir’atul Haya’i
Artinya adalah kaca wira’i. Dikisahkan dalam hadist, ia berada di depan Nur Muhammad. Ia adalah hakikat pramana yang diakui rahsa Dzatnya, sebagai nama bagi atma serta menjadi wahana bagi alam wahidiyat.
4. Roh Idhafi

Artinya adalah nyawa yang jernih. Dikisahkan dalam hadist, ia berasal dari Nur Muhammad. Ia adalah Hakikat suksma yang diakui sebagai keadaan Dzat, serta merupakan perbuatan atma. Ia menjadi wahana bagi alam arwah.

5. Kandil
Artinya adalah lampu tanpa api. Dikisahkan dalam hadist, ia berupa permata, cahaya berkilauan, serta bergantung pada alat pengait. Itulah keadaan Nur Muhammad dan tempatnya berkumpul semua ruh. Ia adalah Hakikat angan-angan yang diakui sebagai bayangan Dzat, bingkai bagi atma dan menjadi wahana alam misal.

6. Dharrah
Artinya adalah permata. Dikisahkan dalam hadist, ia memiliki sinar yang beraneka warna, satu tempat dengan para malaikat. Ia menjadi hakikat budi, yang diakui sebagai perhiasan Dzat, pintu nama, dan menjadi wahana alam ajsam.

7. Hijab
Artinya adalah dinding yang agung dan disebut sebagai dinding jalal. Dikisahkan dalam hadist, ia adalah yang timbul dari permata beraneka warna. Pada saat bergerak akan menimbulkan buih, asap, dan air. Ia adalah hakikat jasad, merupakan tempat bagi atma, dan menjadi wahana bagi alam Insan Kamil .
Menurut keterangan dai ijma’ dan qiyas, dinding agung yang berupa buih, asap, dan air tadi dibagi menjadi 3 bagian.

1.Buih,
mengeluarkan tiga hijab yaitu
a. Hijab kisma, menjadi perwujudan jasad luar seperti kulit, daging, dan sebagainya.
b.Hijab Rukmi, menjadi perwujudan jasad dalam, seperti otak, manik, hati, jantung , dan sebagainya.
c.Hijab Retna, menjadi perwujudan jasad yang lembut seperti mani, darah, sumsum, dan sebagainya.
2. Asap
a.Hijab kegelapan, menjadi perwujudan nafas dan yang lainya
b.Hijab guntur, menjadi perwujudan panca indra
c. Hijab api, menjadi perwujudan nafsu.
3. Air
a. Hijab embun air hidup, menjadi perwujudan suksma
b. Hijab nur rasa, menjadi perwujudan rahsa
c. Hijab nur cahaya yang sangat terang, menjadi perwujudan atma.

Semua itu merupakan dinding bagi Dzat yang berada pada insan kamil atau manusia sempurna. Tidak perlu kuatir karena keadaan Arsy, kursi, lauh mahfudz, kalam, timbangan, jembatan shiratal mustaqim, surga, neraka, bumi, langit, dan semua isinya ini sudah termasuk dalam tabir yang diimbasi oleh Dzat kita yang maha agung. Ia terpancar menjadi keelokan sifat kita yang tunggal, menyertai nama kita yang berkuasa, menandai kekuasaan perbuatan kita yang sempurna.

Sesungguhnya Aku menciptakan Adam berasal dari empat unsur yakni tanah, api, amgin dan air. Semuanya menjadi perwujudan sifat-ku, untuk Aku masuki lima macam mudah yaitu nur, rahsa, roh, nafsu, dan budi untuk menjadi penutup wajah-ku yang maha suci.

Maksudnya, mudah itu adalah Dzat hamba, wajah itu adalah Dzat gusti yang bersifat kekal. Dalam suatu hadist. Disebutkan bahwa masuknya mudah kedalam jasad melalui lima macam proses. Bermula dari ubun-ubun, berhenti di otak, turun ke mata, turun ke telinga, turun ke hidung, turun ke ulut, turun kedada, tersebar ke seluruh tubuh, dan akhirnya sempurna menjadi insan kamil.

Inilah kehendak tambahan dari Dzat yang maha suci. Ia menciptakan singgasana Dzat , diatur dalam baitullah menjadi tiga susunan. Semua itu merupakan kenyataan. Segala sesuatu merupakan ciptaan Dzat yang maha agung, maha mulia, maha kekal tanpa ada perubahan. Disebutkan dalam tiga buah firman Tuhan yang maha suci.

1. Ayat pertama tentang susunan singgasana dalam Baitul Makmur.
Sesungguhnya Aku mengatur singgasana dalam baitul makmur, yaitu rumah tempat kesukaanku. Tempat itu berada dalam kepala adam. Dalam kepala itu ada otak, dalam otak itu ada manik, dalam manik itu ada budi, dalam budi ada nafsu, dalam nafsu ada suksma, dalam suksma ada rahsa, dalam rasa ada aku. Tidak ada Tuhan selain aku,dzat yang meliputi semua keadaan.

2. Ayat kedua tentang susunan dalam baitul Muharram.
Sesungguhnya Aku mengatur singgasana berada dalam baitul muharram, yaitu rumah tempat pingitanku. Tempat itu berada di dalam dada adam, didalam dada adam ada hati hati, didalam hati itu ada jantung, didalam jantung itu ada budi, didalam budi itu ada jinem/angan-angan, didalam jinem ada suksma, didalam suksma ada rahsa, didalam rahsa ada Aku, tidak ada Tuhan selain Aku, Dzat yang meliputi semua keadaan.

3.Ayat ketiga tentang susunan singgasana Baitul Muqaddas.
Sesungguhnya Aku mengatur singgasana di dalam baitul muqaddas. Itu adalah rumah, tempat yang Aku sucikan. Berada dalam kontholnya adam. Dalam konthol itu ada pringsilan/buah pelir, diantara pringsilan itu ada nutfah yaitu mani, didalam mani ada itu ada madi, di dalam madi ada wadi, didalam wadi itu ada manikem, dalam manikem ada itu ada rahsa, dalam rahsa itu ada aku, tidak ada Tuhan selainn Aku, Dzat yang meliputi semua keadaan, bertakhta dalam nukat gaib, turun menjadi jauhar awal. Disitulah alam ahadiyat berada /alam wahdah dan alam wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, dan alam insan kamil, menjadi manusia sempurna yaitu sifatku yang sejati.

Setelah memahami firman Tuhan diatas, maka bijaksanalah dalam hati sebagai perwujudan syukur karena telah menerima anugerah. Anugerah itu adalah pemahaman tentang Dzat Tuhan, yakni menerima sifat sebagai hamba yang telah manunggal dengan Tuhan tanpa batas dalam badan kita.

Penjelasan dari ayat di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, tentang unsur-unsur yang terdapat dalam Baitul Makmur, artinya rumah yang makmur.
Kepala adalah bentuk lahir dari Baitul Makmur.
*Otak adalah keadaan kontha, yang dapat menarik terangnya cahaya dan merupakan pembuka bagi pemahaman tentang Dzat.
*Manik adalah keadaan pramana, memperjelas warna, dan menjadi pangkal penglihatan.
*Budi adalah keadaan pranawa, memperjelas kehendak, dan menjadi pangkal dalam berbicara.
*Nafsu adalah keadaan hawa, memperjelas suara, dan menjadi pangkal bagi pendengaran.
*Suksma adalah keadaan nyawa, memperjelas cipta, dan menjadi pangkal penciuman.
*Rahsa adalah keadaan atma, memperjelas kuasa, dan menjadi pangkal bagi perasaan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka para guru yang mengajarkan tentang susunan singgasana dalam baitul makmur ini berpesan agar tidak makan otak dan manik. Bahkan jangan sampai ada keinginan untuk makan kesuanya. Manfaatnya, menurut pengalaman yang sudah-sudah, ilmunya akan diterima.
Kedua, tentang unsur-unsur yang terdapat dalam baitul muharram, artinya rumah tempat bagi hal-hal yang dilarang.
*Dada adalah bentuk lahir keadaan baitul muharram.
*Hati adalah keadaan panca indra,memperjelas nafsu, dan menjadi pangkal munculnya nafas.
*Jantung adalah keadaan panca maya, memperjelas rasa birahi, dan menjadi pangkal timbulnya denyutan.
*Budi adalah keadaan pranawa, memperjelas kehendak, dan menjadi pangkal munculnya pembicaraan.
*Jinem adalah keadaan angan-angan, memperjelas suara, dan menjadi pangkal munculnya pendengaran.
*Suksma adalah keadaan nyawa, memperjelas cipta, dan menjadi pangkal bagi timbulnya penciuman.
*Rahsa adalah keadaan atma, memperjelas kekuasaan, dan menjadi pangkal munculnya perasaan.

Guru yang mengajarkan ilmu tentang susunan singgasana dalam baitul muharram ini juga berpesan agar tidak makan hati dan jantung. Bahkan jangan sampai ada keinginan untuk memakan keduanya.
Manfaatnya, menurut pengalaman yang sudah-sudah, sering di terima ilmunya.
Ketiga, tentang unsur-unsur yang terdapat dalam baitul muqaddas, artinya rumah yang disucikan.
*Konthol adalah bentuk lahir dari baitul muqaddas.
*Buah pelir adalah keadaan purba, diresapi rasa birahi, serta menimbulkan asmaranala yakni tertariknya hati.
*Mani adalah keadaan kontha, diresapi hawa nafsu, serta menimbulkan asmaratura yakni tertariknya penglihatan
*Madi adalah keadaan warna, diresapi oleh kehendak, serta menimbulkan asmaraturida yakni tertariknya pendengaran.
*Wadi adalah keadaan rupa, diresapi daya pemikiran,serta menimbulkan asmaradana yakni tertariknya kesamaan pembicaraan.
*Manikem adalah keadaan suksma, diresapi oleh perasaan, serta menimbulkan asmaratantra, yakni rasa tertarik karena bersinggungan.
*Rahsa adalah keadaan atma, diresapi rasa kuasa, serta menimbulkan asmaragama, yakni kesenangan yang timbul dalam bersenggama.

Guru yang mengajarkan tentang ilmu susunan singgasana dalam baitul muqaddas ini berpesan agar tidak makan daging buah pelir dan semacamnya. Setidaknya jangan sampai mengobral kata mani. Manfaatnya menurut pengalaman yang sudah-sudah, akan diterima ilmunya.
Setelah paham, sebaiknya ia mengamalkan amalan yang dapat memperteguh kekuatan iman, yakni syahadat jati yang dibaca di dalam hati. Bunyi syahadat tersebut adalah:
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Aku. Dan Aku bersaksi bahwa sesungguhnya muhammad itu adalah utusanku.

Setelah memahami makna syahadat jati ini, kemudian mengangkat janji terhadap sanak saudara kita, yaitu semua makhluk yang tersebar di penjuru dunia seperti langit, bumi, matahari, bintang, bulan, api, angin, air dan sebagainya. agar semuanya menjadi saksi bahwa kita telah mengaku menjadi Dzat Tuhan yang maha suci.

Menjadi sifat Allah yang sesungguhnya, menyebut dalam batin sbb:
Aku bersaksi kepada Dzatku sendiri bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku. Dan Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah utusan-ku.sesungguhnya yang bernama Allah itu adalah badanku rasul itu adalahrahsaku, muhammad itu adalah cahayaku. Akulah yang senantiasa hidup dan tidak akan pernah mati. Akulah yang selalu ingat dan tidak akan pernah lupa. Akulah yang kekal abadi dan tidak pernah mengalami perubahan dalam keadaan apapun. Akulah yang bijaksana. tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-ku. Akulah yang maha kuasa, berkuasa lagi bijaksana, tidak ada kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benderang, tidak dapat diraba, tidak kelihatan, hanya aku yang meliputi alam semesta karena kodrat-ku.

Sumber serat wirit hidayat jati dan para pengamal ajaran tersebut
Jack kalijaga


posted by Jalan trabas @ 05:49

Selasa, 25 Agustus 2009

encapai Hidup Sejati Menurut Tasawuf Jawa Mencapai Hidup Sejati Menurut Tasawuf Jawa

۞.Mencapai Hidup Sejati Menurut Tasawuf Jawa
Mencapai Hidup Sejati Menurut Tasawuf Jawa

Menurut ajaran Sunan kajenar, tanda kehidupan itu adalah berdasarkan dalil hidup tidak akan mempan kematian, abadi selama-lamanya. Maka kehidupan sesungguhnya dapat di capai apabila sudah mampu menyatukan diri bersama Dzat Allah. Atas dasar itulah ia mengatakan bahwa alam didunia ini disebut alam kematian, bukan kehidupan. Ia berkata,”itulah sebabnya didunia yang saya tempati sekarang ini saya namai alam kubur. Di dunia ini saya menemukan raga bersifat jasad, sesuai dengan dalil al-‘alamu kullu maujudin yang artinya dalam tia-tiap alam, manusia menemukan raga bangkai. Maka sekarangpun sudah nampak.

Hidup saya di dunia ini menemukan wujud jisim,tiang, sumsum, otot, serta daging. Saya tersesat di dalam dunia kematian ini. Di sini saya berjumpa dengan penyesatan agung, goda rencana, iblis, setan, dan neraka yang banyak sekali jumlahnya. Di dunia ini pula jisim terbelenggu rantai dan air panas.saya sungguh menyesal dalam keadaan mati di dunia ini. Menggunakan panca indra yang bersifat baru, perut dan isi perut selalu minta diisi . haus dan lapar sudah saya derita, sakit dan sedih sudah saya alami, darah dan daging turut menumpang, padahal semua itu akhirnya menjadi debu.”

Sama halnya denga Sunan kajenar, wali songo juga mengajarkan bahwa hidup sejati hanya bisa diraih jika sudah meniadakan kedirianya sebagai manusia yang menyatukan diri dengan Dzat tuhan yang abadi selamanya. Caranya adalah dengan tanazul dan taraqi, yakni memahami dan mempraktikan ajaran martabat tujuh secara menurun dan mendaki.

1. Tanazul(menurun)
1.Dzat Tuhan yang tidak bernama, karena tidak ada satu nama pun yang mampu mewakili keberadaanya. Maka ia di sebut Aku. Inilah tuhan sejati, hidup sejati, sebagaimana diidam-idamkan oleh syekh siti jenar. Inilah martabat ahadiyah dalam tataran martabat tujuh. Tuhan sejati atau Aku ini berdiri sendiri tiada berawal dan berakhir, serta maha esa. Dia sendiri dan ingin di kenal, namun tidak ada yang dapat mengenalnya karena tidak ada yang lain selain dirinya. Dia berkeinginan menciptakan makhluk agar makhluk tersebut mengenal-nya .

Tuhan menciptakan suatu makhluk dengan bahan dirinya, karena tidak ada bahan lain. Jadi makhluk yanga akan dia ciptakan itu berasal dari dirinya sendiri, atau dengan kata lain makhluk itu bukan barang baru namun hanya penampakan lain dari rupa diri tuhan.sebagaimana dijelaskan ibnu arabi awal penciptaan dimulai dengan iradah dari Allah Ta’ala.sebagaimana firmanya idza araada syai’an an yaqulalahu kun fayakun(jika dia telah berkehendak terhadap sesuatu, cukup dia mengatakan jadi’maka jadilah ia) segala sesuatu di alam semesta ini menjadi ada karena irodat atau kehendak Tuhan. Sunan kajenar lalu menolak mengatakan manusia dan alam semesta ini sebagai ciptaan. Namun mereka ada karena menemukan keadaan . ibarat ombak yang menemukan keadaanya dari samudra. Ombak pada dasarnya tidak ada , namun merupakan bagian dari samudra tersebut.demikian konsep penciptaan menurut Sunan kajenar dan pada akhirnya diyakini oleh Wali songo dan para sufi lainya.

Penampakan Tuhan ini berjalan secara menurun dan penurunan yang pertama adalah sebagai nur muhammad. orang islam menyebutnya sebagai Allah. Atas dasar ini sunan kajenar menolak menyebut Allah sebagai tuhan sejati. Allah hanyalah nama untuk menyebut diri tuhan. Padahal sejatinya dia tidak bisa di jangkau dengan nama.menurutnya, menyebut nama Allah adalah suatu kebohongan , kedurjanaan dalam beragama. Allah ada karena. Ini hanyalah nama untuk mempermudah pengenalan terhadapnya saja, tidak mewakili tuhan sesungguhnya. Nur muhammad /Allah tiada beda, setidaknya demikian menurut sunan kajenar.

2.Penampakan tuhan kedua dengan nama Allah ini ini sudah mengurangi kesempurnaan diri-nya. Sekali lagi sunan kajenar dan murid-muridnya enggan menyembah Allah. Dia mengatakan bahwa Allah bersemayam dalam Dzatnya. Mereka engan untuk sholat di masjid, puasa, zakat, serta haji dengan harapan surga sebagaimana yanga di janjikan Allah melaui Nabi “Muhammad.
Penurunan ini bukan berarti bahwa tuhan ada dua .tetap satu. Dia hanya menampakkan diri dalam kualitas menurun agar lebih mudah di kenal. Dzat Tuhan terlalu suci untuk dikenal, dan nama Allah merupakan jembatan atau jalan tengah agar dia dapat lebih mudah dikenal. Tahapan ini biasa disebut dengan Martabat Wahdah.

3.Rupanya, dengan penurunan diri dengan nama Allah ini pun masih belum cukup dikenal secara mudah. Maka Tuhan menurunkan diri lagi menjadi bersifat kemakhlukan, yakni Nur Muhammad yang tidak lagi bernama Allah. Nur Muhammad pada tahapan ini bersifat mendua, yakni selalu berpasang-pasangan sebagai cikal bakal penciptaan alam semesta. Tahapan ini biasa di sebut Martabat Wahidiyat. Bahan penciptaan alam semesta berasal dari Nur Muhammad pada martabat ini. Semuanya terkumpul menjadi satu.

4. Dari Nur Muhammad yang telah bersifat kemakhlukan ini, terurai menjadi bagian-bagian halus yang belum nampak. Itulah roh-roh atau alam arwah. Roh merupakan sumber kehidupan bagi tiap-tiap benda. Roh ini berasal langsung dari Tuhan, ibarat diembuskan dari dirinya. Kehidupan syarat mutlak bagi makhluk untuk dapat mengenal Tuhan, maka dia menjadikan roh-roh ini sebagai sumber kehidupan. Hidup makhluk ini berasal dari roh-roh ini . atas dasar ini pulalah sunan kajenar mengatakan bahwa kehidupan makhluk ini hanyha semu saja karena berasal dari sumber yang kecil, Kehidupan.

5. Sumber kehidupan berupa roh ini tidak akan mampu mewakili keinginan Tuhan jika tidak disertai sarana atau wadah. Untuk itu, Tuhan menjadikan wadah bagi kehidupan tersebut. Nur Muhammad yang bersifat makhluk itu terurai menjadi bagian-bagian terpisah yang masih halus. Inilah alam misal. Di dalamnya terkumpul berbagai jenis makhluk, seperti Malaikat, jin, setan, iblis, jiwa manusia , surga, neraka, dan sebagainya. Dalam Alam misal ini manusia sudah ada namun masih berbbbbbentuk jiwa. Ia belum memiliki raga. Selanjutnya Tuhan menampakkan Dzatnya sebagai wadah perbuatan, nama, dan sifatnya, sehingga muncullah alam ajsam.

6. Pada alam ajsam ini, Tuhan menampakkan diri secara menyeluruh. Raga adalah perwujudan rupa dirinya. Perbuatan, nama dan sifat alam semesta adalah wajahnya. Semua itu terbungkus dalam sifat kemakhlukan yang serba mendua, ada hitam dan putih, ada baik dan buruk, ada senang ada sedih. Jadi, hidup sebagai makhluk selalu diliputi sifat ketidak sempurnaan. Lain halnya Dzat Tuhan yang mandiri, langgeng, tunggal, tidak tersentuh rasa lapar, ngantuk, sakit dan sedih.

7. Setelah mengetahui hakikat diri secara menurun ini, maka tahulah bahwa alam semesta ini pada hakikatnya adalah gambaran rupa Tuhan. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, karena dibekali kemampuan untuk mendaki dan menyatu dengan Dzat maulana wajibul wujud hingga menjadikan dirinya sebagai wakil tuhan di dunia. Inilah manusia sempurna, manusia yang telah sampai pada hakikat dirinaya, yakni Dzat yang sempurna. Hidup Sejati sebagaimana yang di ajarkan oleh Wali Songo dan sunan kajenar akhirnya bermuara pada penyatuan kepada DZAT yang sejatinya.......

2.Taraqi(mendaki)
1. Kehidupan yang di lihat orang-orang ini adalah kehidupan paling luar, fisik semata. padahal fisik atau jasmani ini adalah hijab atau penghalang Tuhan yang paling luar. Kebanyakan orang tertipu oleh penampakan jasmani ini. Manusia yang hidupnya hanya beroientasi pada fisik semata, ia tidak lebih seperti bangkai. Fisik manusia tidak ada bedanya dengan fisik hewan, tumbuhan, dan benda-benda bumi lainya. Semuanya berasal dari unsur tanah, air, api, udara, kenyataanya hampir semua orang saat ini lebih disibukkan dengan urusan fisik ini. Menjadikan fisik ini sebagai tolak ukur dalam hidupnya. Banyak sekali contoh yang bisa di lihat dalam kehidupan sehari-hari kita. Maka lengkaplah kebanyakan manusia lebih disibukkan dengan urusan-urusan fisik semata sehingga semakin tebal dinding untuk dapa melihat Tuhan.

2. Manusia adalah makhluk yang berjiwa ia di beri anugerah akal untuk dapat berpikir. Inilah yang membedakan derajat manusia dengan makhluk yang lain. Manusia juga di beri anugerah hati agar dapat merasakan. Manusia yang telah mampu mengaktifkan akal dan hatinya berarti ia telah selangkah lebih maju di bandingkan manusia yang sekedar mengandalkan kelebihan fisik semata. Ia telah mampu menggunakan akal dan hatinya namun Tuhan memberikan akal dan hati inipun rupanya bertingkat-tingkat. Kerja akal manusia yang paling bawah adalah ‘aql atau akal, sebagaimana di sebutkan dalam alqur’anafalaa ta’qilun. Kerja akal ini adalah memikirkan segala sesuatu yang bersifat kealaman. Dengan menggunakan akal ini akan ditemukan kebenaran dan kesalahan serta kebaikan dan keburukan, dalam perspektif duniawi. Demikian pula dengan kerja hati ia juga memiliki beberapa tingkatan, yang terendah adalah qalb atau hati yang selalu berbolak-balik, kadang baik kadang buruk. Manusia yang hanya menggunakan kerja ‘aql dan qalb ini cenderung akan serakah pada dunia. Ia akan rakus mencari uang. Kalaupun berbuat baik, lebih sering hal tersebut di sertai dengan pamrih lainya.

Inilah hijab Tuhan yang lebih tipis dibandingkan dengan fisik. Setidaknya manusia yang sudah bisa mengendalikan kerja akal dan hati yang pertama ini akan lebih mudah mengenal tuhan daripada mereka yang masih terkungkung pada diri yang hanya berorientasu pada fisik semata. Lebih tinggi lagi, sebagian manusia yang sudah bisa mengaktifkan kerja akal kedua, yakni Fikr sebagaimana firman Allah ta’ala: afala tatafakkaruun. Dengan fikr ini manusia sudah mampu menjangkau hal-hal yang tidak tampak di dunia ini namun nyata kebenarannya seperti”: surga, neraka, malaikat, setanh, pahala, dosa dan sebagainya. Agana Islam diturunkan dengan membawa kabar gembira tentang adanya surga beserta kenikmatanya yang ada didalamnya. Juga membawa peringatan kepada manusia tentang adanya siksa yang pedih di akhirat kelak. Kebanyakan manusia sulit untuk dapat mengenal tuhan secara sempurna, maka Nabi Muhammad SAW diutus untuk memberikan jalan tengah agar mereka menyembah Tuhan sesuai kemampuanya. Adanya surga neraka serta malaikat-setan merupakan motivasi agar mereka mau menyembah tuhan. Seandainya surga dan neraka tidak ada bagaimana?? ... sebenarnya klo buat saya pribadi walaupun tidak ada surga dan neraka sebernya tujuan kita yang paling utama adalah untuk mengenal Tuhan sedekat-dekatnya karna dengan kedekatan itu tiada nikmat yang lain selainya bersama keagunganya atau kita bermujahadah langsung. Menurut Sayyidina Ali manusia yang menyembah Tuhan karna surga-neraka adalah manusia yang berjiwa budak dan berjiwa pedagang, yakni hanya mau menyembah Tuhan jika diancam dengan neraka dan di janjikan hadiah surga. Manusia yang beginilah yang tidak pernah akan maju sepiritualisnya. Cobalah belajar menjalankan makna kitab suci kita bukan menjalankan artinya sekali lagi makna dari Al Qur’An.

Padahal klo kita mau belajar tentang makna Al Qur’An luar biasa sekali untuk diresapi. Inilah yang di lakukan para generasi muslim sesudah Kanjeng nabi khususnya para tokoh sufi. Persis sindiran tokoh sufi jawa sunan kajenar mengatakan: Sebagian kaum santri yang terkutuk dan mabok tobat, mereka beribadah bukan dengan niat yang tulus murni tetapi karena mengaharapkan sesuatu selain Tuhan.

Namun setidaknya manusia yang sudah terbuka fikr-nya seperti ini lebih baik daripada mereka yang masih terkungkung oleh nafsu duniawi. Ini adalah jalan untuk mengenal tuhan lebih lanjut. Manusia yang telah memahami, menghayati, dan merasakan kehadiran alam surga,neraka,malaikat,setan, serta segala sesuatu yang berkaitan denganya berarti ia telah memasuki pengenalan terhadap alam misal sebagai bekal untuk mengenal tuhan lebih lanjut.

3.Selanjutnya manusia diharapkan mengenal rohnya.inilah nyawa yang membuat jasmani dan jiwa manusia menjadi hidup. Jasmani tidak akan bergerak jika tidak mendapat perintah dari jiwa, dan jiwa tidak dapat memberi perintah pada gerakan jasmani jika tidak terdapat roh didalamnya. Inilah yang bisa dipahami kebanyakan orang sebagai hidup. Selama roh masih melekat dalam badan jasmani seseorang maka orang tersebut di katakan hidup. Ketika sedang tidur manusia bergerak dan tidak merasakan sesuatu karena jiwanya keluar dari jasadnya. Namun ia tetap dikatakan hidup karena rohnya masih berada dalam jasad. Ketika bangun, jiwa kembali menyatu dalam badan hingga hidupnya di dunia menjadi sempurna. Ketika roh terlepas dari badan, otomatis jasmani tersebut tidak bisa dipakai lagi. Jiwa tidak lagi mampu menggunakanya, sehingga ia disebut mati. Roh ini disebut dengan nyawa. Dalam AL Qur’an, Tuhan meniupkan roh manusia ini yang berasal Roh Agung kepunya-anya. Ki Ageng Pengging mengatakan nyawa manusia berada dalam tirta nirmala atau air kehidupan atau maa’ul hayat. Ia berada dalam uni nong ana nung atau Dzat Tuhan. Jika kalau manusia sudah bisa mengerti tentang ilmu kasempurnaan tentang ini, maka ia bisa mencabut nyawanya sendiri seperti sunan kajenar, sunan kalijaga dan sebagainya. Karena beliau sudah melebur dirinya dengan Dzat Tuhan. Bagi para tokoh sufi yang sudah bisa menyatukan diri dengan Dzat Tuhan dan menganggap budi serta kesadaran manusia sebagai Tuhan. Baginnya kodrat atau kekuasaan dan iradat atau kehendak Tuhan sebagai ilmu sejati. Semua sifat Tuhan yang dua puluh jumlahnya, jika di gulung menjadi satu dan melekat dalam budi, maka budi menjadi lestari, kekal selamanya.

Ini berarti, wujud mutlak itu akan menjadi Dzat, tiada bermula, tiada berakhir, tiada berasal, tiada bertujuan. Sunan kajenar telah bersemayam dalam kodrat atau kekuasaan Tuhan hingga ia berkuasa untuk mengambil nyawanya sendiri, serta bersemayam dalam iradat atau kehendak Tuhan hingga kehendanya adalah kehendak Tuhan. Kapan saja ia mau, ia bisa melakukanya. Dengan mudah sunan kajenar dapat menutup sumber air kehidupannya, atas kuasa dan kehendak Dzat Tuhan dalam dirinya, sehingga ia pun mengambil nyawanya sendiri.
Roh atau nyawa manusia berasal dari Tuhan secara langsung. Adapun jasmani ia adalah gambaran maya saja, Dzat yang tidak lebih hanya sekedar simbol. Jasmani ini akan menjadi penghalang bagi manusia yang atidak mampu menangkap rahasia diciptakanya jasmani tersebut. Namun bagi orang yang sudah tersingkap pandangan batinya. Ia akan melihat Dzaty Tuhan dalam Dzatnya. Bagi sunan kajenar jasad manusia adalah rupa Tuhan dan menurut Wali Sango kepala manusia adalah singgasana kemakmuran Tuhan , dada manusia adalah singgasana kemuliaan Tuhan, dan kemaluan manusia adalah singgasana kesucian Tuhan. Keduanya tak jauh berbeda, jasad manusia adalah gambaran dari rupa tuhan!! .......seperti yang tertulis didalam kitab ihya ulumudin”” wa Allahu dzahir al-insan, wabatinul insani baytullahu”” artinya : lahiiriah manusia itu wajah Tuhan dan batiniah manusia itu rumah Tuhan.. melalui pandangan ini, mengenal Tuhan pun bisa dilakukan jasmani dengan menganggapnya sebagai gambaran dari wajah Tuhan. Adapun Dzat sesungguhnya adalah dalam rahsa. Demikian pula dengan jiwa, ia adalah gambaran dari perbuatan, nama dan sifat Tuhan. Sehingga mengenal Tuhan juga bisa di lakukan melalui gambaran jiwa diri dan orang lain. Yaitu melihat perbuatan, nama, dan sifat Tuhan.

Menurut sunan kajenar alam semesta ini tidak diciptakan tetapi menemukan keadaan. Tuhan tidak menciptakan barang baru. Dia maha tunggal sehingga apa saja yang dia ciptakan pada dasarnya adalah dia juga, karena bahanya berasal dari-Nya. Demikian pula dengan alam semesta ini, sebagai gambaran penampakanya. Alam ajsam atau alam jasmani ini adalah gambaran wajah Tuhan dan alam misal atau alam jiwa ini adalah gambaran perbuatan, nama, dan sifatnya. Semua itu pada dasarnya Tuhan juga.

4. Roh manusia satu dan roh manusia lainya pada dasarnya satu kesatuan, karena berasal dari sumber yang satu. Sumber Roh tersebut sdslsh Roh Agung atau Nur Muhammad dalam perspektif kemakhlukan ini di sebut martabat wahidiyat. Manusia yang mengira bahwa hidupnya bergantung pada Roh bagian yang berasal dari Roh Agung akan berpendapat bahwa hidupnya di dunia sebagai kehidupan yang sejati. Padahal, Roh yang ia peroleh hanyalah sekedar tiupan kecil dari Roh Agung tersebut. Berbeda dengan sunan kajenar, ia menganggap hidup di dunia ini sebagai kematian karena terlempar dari Roh Agung kepada Roh kecil di dunia. Maka ia begitu rindu untuk secepatnya kembali pada Rohnya yang utuh.

5. Roh Agung pada martabat Wahdah ini bukan lagi sebagai makhluk, namun lebih dekat pada sifat ketuhanan. Dia adalah satu, namun masih masih bukan Tuhan yang sesungguhnya. Dalam keadaan ini, Roh bukan lagi makhluk dan tidak berkaitan dengan makhluk.

6. Akhirnya semua sifat tuhan dalam Martabat Wahdah, termasuk sifat Hayyun atau Maha Hidup,yaitu ketika Roh Agung termasuk didalamnya, digulung menjadi satu. Jadilah Dzat Tuhan atau uni nong ana ning atau Aku.

Wassalam jack kalijaga..
posted by Jalan trabas

Selasa, 23 Juni 2009

SyamsuSyamsuddin Sumatrani Sufi Legendaris dari Nangroe Aceh

۞.Syamsuddin Sumatrani Sufi Legendaris dari Nangroe Aceh
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.
Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.
Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.
Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.
Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.
Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.
Peranan dan Pengaruhnya
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.
Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.
Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.
Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
1. Jawhar al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
2. Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
3. Mir’at al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).
4. Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
5. Syarah Sya’ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana’ di dalam Allah.
6. Nur al-Daqa’iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
7. Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.
8. Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
9. Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.
Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.
Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.
Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.
Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).
Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar.
Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).
Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:
I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.
Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.
Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.
Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya. Wallahu A’lam.

Sufi Jawa, Sang Mandor Klungsu

۞.Sufi Jawa, Sang Mandor Klungsu
Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, selama 29 tahun, sejak 1897, mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan di sana. Mahasiswa Universitas Leiden itu kemudian menjadi wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia I.

Sosrokartono (1877-1952) adalah adik kandung Boesono. Keduanya adalah kakak RA Kartini, pahlawan emansipasi wanita yang setiap tanggal 21 April selalu dirayakan di seluruh pelosok Indonesia. Mereka adalah anak Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat untuk periode 1880-1905 dari perkawinannya dengan Ngasirah. Pasangan ini memiliki delapan anak.

Sosrokartono sering berpuasa. Jika tak berpuasa, ia jarang makan. Meski separuh lumpuh, ia masih menerima ratusan tamu yang datang dengan berbagai kepentingan, mulai dari sekadar meminta nasihat, belajar bahasa asing, hingga mengobati berbagai macam penyakit.

Pada setiap pengobatan, Kartono biasanya memberikan air putih dan secarik kertas bertulisan huruf Alif kepada pasien. Nasihat Eyang Sosro antara lain “Sugih tanpa banda / Digdaya tanpa aji / Nglurug tanpa bala / Menang tanpa ngasorake” (Kaya tanpa harta/ Sakti tanpa azimat/ Menyerbu tanpa pasukan/ Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan).

Selama 29 tahun, Sosrokartono lebih dikenal sebagai seorang intelektual yang disegani di Eropa. Ia kerap dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa) atau De Mooie Sos (Sos yang Tampan). Ia mengembara ke beberapa negara, kemudian menjadi wartawan perang. Ia juga pernah menjadi staf Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, bahkan sempat menjadi penerjemah untuk Liga Bangsa-Bangsa.

Setelah melanglang Eropa sejak 1897, pangeran tampan dari tanah Jawa itu pun pulang. Ia ingin mendirikan sekolah sebagaimana dicita-citakan mendiang adiknya, Kartini. Ia juga ingin mendirikan perpustakaan.

Kartono kemudian menggalang dukungan dari kelompok pergerakan di Indonesia. Ia menemui Ki Hajar Dewantara. Bapak pendidikan itu lalu mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung. Ia pun diangkat menjadi kepala Sekolah Menengah Nasional di kota ini.

Pada saat yang bersamaan, ia menyaksikan orang-orang kelaparan dan diserang berbagai macam penyakit. Kartono pun kemudian menjalankan laku puasa bertahun-tahun untuk merasakan apa yang juga diderita saudara-saudaranya. Ia juga menjadikan Darussalam sebagai rumah pengobatan.

Separuh badan Kartono lumpuh sejak 1942. Kartono mangkat pada 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak. Ia dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Di sebelah kiri makam Kartono terdapat makam ibunya Nyai Ngasirah dan bapaknya RMA Sosroningrat.

Di dinding pagar besi di makam Kartono, terpasang tulisan huruf Alif dalam bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat foto Kartono mengenakan setelan jas ala orang Barat. Di nisan sebelah kiri, tercantum kata- kata terpilih Kartono: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Di nisan sebelah kanan tercantum kalimat: Trimah mawi pasrah(rela menyerah terhadap keadaan yang telah terjadi), suwung pamrih tebih ajrih (jika tak berniat jahat, tidak perlu takut), langgeng tan ana susah tan ana bungah (tetap tenang, tidak kenal duka maupun suka), anteng manteng sugeng jeneng (diam sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).

Dalam beberapa tulisannya yang berisikan nasehat hidup, dia sering menggunakan nama Mandor Klungsu (Mandor Biji Asam Jawa) atau Joko Pring. Nama yang terakhir mungkin menunjukkan bahwa dia tidak menikah. Laku puasa, berdiam diri di ruang khusus, atau berdiri berjam-jam di malam hari merupakan wajah mistik RMP. Sosrokartono. Sampai sekarang masih banyak yang meneladani laku dan sikap hidup Pangeran dari Tanah Jawa ini. Bahkan ada yang mendirikan Yayasan Sosrokartono, untuk mengenang dan mendedikasikan gerakannya untuk Pribadi yang mulia ini. (dari berbagai sumber internet)

Minggu, 24 Mei 2009

.Syariat Dalam Perspektif Makrifat Jawa

۞.Syariat Dalam Perspektif Makrifat Jawa

Bagi tasawuf jawa Al Qur’an terbagi atas dua macam pertama qur’an garing (kitab garing) dan kitab teles (kitab basah). Kitab garing adalah kitab al Qur’an yang tertulis sebagai petunjuk dalam memahami ayat-ayat Tuhan. Kitab basah adalah al Qur’an yang terdapat didalam hati. Kedudukan kitab basah derajatnya lebih tinggi, juga kedudukanya karena ia menyangkut ayat-ayat semesta, dan sebagai sumber untuk memahami makna kehidupan. Posisinya atas kitab basah, kitab kering berfungsi sebagai lampu penerang, agar kitab basah dapat berfungsi dengan baik dan tidak berjalan dalam kegelapan.

Kitab suci yang kering, hanyalah sebagai tanah kosong yang perlu di cangkul, dipupuk dan ditanami. Untuk itulah diperlukan kitab suci basah, atau yang terdapat dalam diri manusia. Kitab suci sebagai formaslisme syariat yang harus menemukan benih yang tepat, yakni hati yang bersih, dan penanam yang tepat pula. Itulah sang salik, yang hatinya bersih, dan segenap jiwanya diarahkan kepada Allah. Hal ini menjadi salah satu berimbangan antara syariat dan makrifat. Berikut penulis petikkan dari serat nitisruti pupuh dhandhanggula bait 11~14 karya sunan kajenar yang terjemahanya sebagi berikut:

“” Maksud ajaran yang permulaan mengenai kududukan uluma, bilamana sudah benar sesuai penempatanya, jujurnya perasaan didalam hati tiada tabir, karena sudah waspada kedudukanya yang di sembah dan yang menyembah, menjadi biasa dalam keberadaan sejati, menjadi mulia yang sebenarnya, selarasnya yang demikian itu sebenarnya, tidak terbuka dalam hati manusia, yang tanpa pengetahuan, dan yang masih bodoh, sungguh bodoh pemikiranya, oleh karena itu haruslah, hati terus berusaha, mengambil teladan guru, kepada para ulama yang mahir, sebagai kemuliaan sejati. Maksud rasa hati yang sudah sampai pada kebenaran, kotoran diri sudah sirna, mencegah segala yang tidak baik, bagaikan tubuh yang cantik, yang demikian itu bilamana, sudah sampai luar dalam, akhirnya selaras bersih tak bercampur, dalam dalam suasana yang indah yang di sebut benar-benar sirna sifat manusiawinya. Jelas sekali sebenarnya yang demikian itu sudah tak ada gusti dan hamba, karena sudah sirna rasanya, sedangkan yang tidak tau ,pengetahuan yang diuraikan, tak dapat diceritakan bagaimana cara hidupnya, sudah penuh bisa, hanya kedurjanaan yang dilakukan, lain halnya bagi yang sudah kokoh budinya...””

Pupuh diatas sangat mewakili ajaran mistik dan makrifat islam jawa. Terutama yang di sebarkan oleh sunan kajenar dan sunan kaliajaga. Mistik makrifat yang secara mudahnya berarti “inisiasi” adalah praktek kontak spiritual langsung dengan Tuhan melalui kontemplasi atau pengalaman psikologis. Oleh karenanya rahasia dan rasanya hanya dapat dirasakan oleh pelakunya saja, dan masing-masing pelaku ( salik ) akan selalu memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Namun secara jelas dan tegas dapat dinyatakan bahwa tanpa laku, tanpa penghayatan langsung dan nyata, maka keadaan yang sesungguhnya dari pengalaman keagamaan, rasa agama (al-halawat al-iman), atau apa pun namanya dari buah lelaku tersebut niscaya tidak dapat dirasakan dan tidak bisa diperoleh.

Demikian pula pengetahuan keagamaan sedalam apapun tidaklah bisa disebut sebagai makrifat. Mendalamnya ilmu syariat juga belum bisa tentu sanggup mengantarkan pemilikannya sampai pada kemakrifatan. Mungkin mereka mengetahui tentang Tuhan. Ia tahu segala sifat-sifatnya melalui buku dan guru. Karena mereka tahu tapi tidak pernah kontak, maka hasilnya juga menjadi kurang benar. Maka dalam makrifat di butuhkan lelaku. Dalam bahasa sufi, makrifat merupakan buah dari perjalanan, suluk, seorang hamba kepada Tuhannya. Dari proses perjalanan itulah maka akan tercapai makrifatullah. Dan di ketahui secara jelas apa itu sangkan paraning dumadi( inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).

Dalam hal ini syariat bukanlah sekedar aturan-aturan formal keagamaan, yakni yang sering hanya dibatasi sebagai fiqih. Sekarng ini kata-kata “syariat islam” telah direduksi oleh para agamawan hanya sebatas fiqih, aturan formal keagamaan yang dibakukan dalam berbagai karya hukum keagamaan oleh manusia. Fiqih sebenarnya hanyalah produk perjalanan ulama dalam sejarah islam, bukan syariat itu sendiri. Sedangkan syariat dalam tataran makrifat adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan.

Adapun cara untuk menempuh laku syariat itu di sebut sebagai terekat, yang tentu terkait dengan masing-masing tempat, zaman, tradisi dan budaya yang berbeda.praksisme keagamaan inilah yang pernah diusung oleh parah tokoh sufi jawa pada abad ke 15 yang lalu.dalam hal ini bahwa syariat baru menjadi berarti setelah dilalui melalui proses tirakat atau lelakon. Dalam melakukan hal tersebut, maka yang pertama kali harus diperhatikan adalah upaya untuk melongok kedalam diri sendiri atau introspeksi. dalam hal inilah diperlukan adanya laku untuk mengendalikan hawa nafsu. Tahapan utama untuk ini adalah khalwat, tahannuts atau meditasi (menempuh laku heneng dan hening). Jika prose ini berhasil maka akan mengantarkan pelakunya untuk mendapatkan apa yang ia sebut sebagai inspirasi spiritual dan sebagainya. Dari ilham yang di peroleh maka akan melahirkan berbagai pengetahuan baru dan perilaku-perilaku yang berasas pada keluhuran budi sebagai buah ber-musyahadah (menyaksikan dan berkontak langsung dengan Allah), Atau buah iman. Dengan demikian maka kita berjalan menuju kepada –nya, kita menyatu dengan-nya, dan kita telah membangun sikap hidup yang berdasarkan kehendak Tuhan itu sendiri......

Dalam sistimatika makrifat jawa persoalan sholat mendapatkan perhatian cukup penting. Dalam hal ini, yang cukup signifikan untuk dibahas pada tempat ini adalah yang berkaitan dengan tiga hal pokok, yang sering mendatangkan kontraversi, yakni tentang sholat tarek, sholat daim, dan tentunya, terkait dengan hal tersebut adalah tentang adanya sholat. Dalam qur’an sholat dikategorikanmenjadi dua seperti firman Allah SWT: “Peliharalah semua sholatmu dan sholat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam sholat) yang khusyu’ “ ( QS. AL-Bagarah/2:238).

Dalam sistem islam jawa makna sholatmu” dalam ayat tersebut mengacu pada sholat syariat atau lahir, dan sholat wustha pada sholat hati. Secara lahir sholat dilakukan dengan berdiri, membaca al-fatihah, sujud, duduk dan sebagainya, yang melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah sholat jasmani dan fisikal karena semua gerakan badan berlaku dalam semua sholat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawati (segala shalat), yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.

Bagian kedua adalah shalat wustha. Yang di maksud secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah ,yakni di tengah”diri”, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan sholat ini adalah untuk mencapai kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah, antara kanan dan kiri, antara depan dan belakang, antara bawah dan atas, dan antara baik dan jahat. Hati menjadi titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga di ibaratkan berada diantara dua jari Allah, dimana Allah membolak-balikkan kemana saja yang ia kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat yang Maha Menghukum dan Mengazab dengan sifat yang indah, yang kasih sayang, yang lemah lembut.

Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah shalat serta ibadahnya hati, kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyu’, maka jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi kedamaian yang didambakan akan hancur pula. Apalagi sholat jasmani hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyu’. Kalau hati tidak khusyu’, serta tidak dapat konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut shalat. Juga tidak akan dipahami apa yang diucapkan, dan tentu apapun yang di lakukan dengan bacaan dan gerakanya tidak akan mengantarkan sampai kepada Allah.

Urgensi kekhusukan itu berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam shalat, tidak perduli akan makna rohani sholat, shalat yang di lakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apapun. Sebab semua yang di lakukan jasmaninya sangat tergantung kepada hati sebagai zat untuk badan. Ingatlah sabda Rasulullah :” ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati...”

Kekhusukan hati akan membawa shalat yang menghasilkan kesehatan hati. Shalat khusuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak,yakni hati yang tidak dapat hadir kepada Allah. Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal: tempa, waktu, kesucian badan, pakaian dan sebagainya, maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalul dilakukan terus-menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk rohani ada didalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang berzikir dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa rohaniah. Imamnya dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. Inilah shalat daim yang di ajarkan oleh guru saya yang memperoleh ajaran ini dari para orang bijak seperti sunan kajenar dan sunan kalijaga dan sebagainya..

Nah, shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur dan tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tidur. Inilah tahapan orang-orang yang sudah mencapai makrifatullah, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu ia ada tanpa dirinya, karena dirinya telah fana’ telah hilang lenyap. Ingatanya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah. pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut, tidak ada lagi gerakan berdiri, sujud, rukuk dan sebagainya. Dia telah telah berbincang-bincang dengan Allah.sebagaimana firman Allah:” Hanya engkau yang kami sembah, dan hanya kepada engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS Al-Fatihah/1:5).

Friman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni mereka yang telah mengalami beberapa tingkata alam rasa dan pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau keesaan Allah dan berpadu denganya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun, mereka pun sering tidak mau mengungkapkannya, tidak ingin membocorkan rahasia ketuhanan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah. hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semat-mata ucapan ‘Allahu akbar”. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah untuk memuji kebesaran Dzatnya.

Jadi takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hambanya. Bukan hasil dari dorongan emisional. Karenannya. Takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. dan takbir sejati adalah penyebutan namanya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir yang demikian itu, maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada hanya Allah. kemanapun kita menghadap yang ada hanya wajah Allah. maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, Roh dan Hati seperti yang tergambar itu. Membawanya msuk kehadirat Allah, hatinya berpadu mesra dengan Allah. dalam alam nyata ia menjadi hamba yang alim dan wara’. Dalam alam rohani ia menjadi hamba yang ma’rifah yang telah sampai pada tingkatan kesempurnaan mengenal Allah. inilah makna bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah perilaku keji dan moral. Sebaliknya menghasilkan kehalusan dan kemuliaan budi dan perilaku. Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fiqih sebagaimana tampak pada kebanyakan manusia dewasa ini. Sholat yang tidak tau makna hakikatnya mendapat kritik tajam dari sunan kajenar sebagai berikut: ” syahadat, shalat, puasa semua tanpa makna termasuk zakat dan haji ke mekkah itu semua telah menjadi palsu tidak bisa di jadikan panutan hanya menghasilkan kerusakan bumi membohongi makhluk lain, hanya ingin surga kelak orang bodoh mengikuti para wali sementara kenyataanya sama saja belum mencapai tahapan hening”

Sunan kajenar mengkritik pelaksanaan hukum fiqih pada masa kerajaan demak. Karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan arti dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang menina bobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak, yang belum ada kenyataanya. Oleh karenannya. Para tokoh sufi jawa dan para sufi lainya yang sudah benar-benar mencapai tahapan ma’rifah mengajarkan shalat yang fungsional. Berbeda dengan para ulama yang hanya mengandalkan hukum fiqih semata. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syariat, dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai seluruh budi pekerti kehidupan. Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesioanalnya secara benar, disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut telah melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat daim. Sunan kalijaga pun memiliki wejangan shalat daim sebagai berikut:

terjemahannya “””” wahai anak cucuku, setiap engkau menyelesaikan shalat lima waktu, segeralah mendirikan shalat daim, shalat kekal, shalat wustha. Mensucikan diri tanpa air melainkan dengan bacaan istighfar yang senilai suci. Caranya tanpa rukuk dan sujud, melainkan dengan serba merasa diri menghadap, mengabdi kepada Tuhan yang maha suci dikala engkau sedang diam, bergerak dan bekerja apa saja. Syaratnya hanya satu: niat menghambakan diri secara sempurna kepada Allah, dengan memberikan kebajikan kepada orang lain. Itulah wahai anak cucuku, jalan mencapai saat kematian sejati, memperoleh akhir hidup yang sempurna dikaruniai rahmat Allah.

Jadi shalat daim tidak terbatas oleh waktu, keadaan atau batasan-batasanyang lain. Dalam sulik linglung sunan kalijaga menegaskan bahwa shalat daim dilaksanakan tanpa menggunakan air wudhu untuk menghilangkan najis dan hadas, shalat daim merupakan shalat batin yang sebenarnya. Shalat yang seseorang di dalamnya boleh dengan makan, tidur, bersenggama, maupun buang kotoran.

Sunan Bonang pun memiliki ajaran shalat daim sebagai berikut: “” Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat isa atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila di sebut shalat, maka itu hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama.””

Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya di lakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagaman. Sementara shalat daim merupakan shalat yang sebenarnya, yakni kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Yang Maha Agung di dalam diri-nya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah tindakan sembahnya. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk tidak menebar kekejian dan kemungkaran. Mampu menghadirkan ramatan lil ‘alamin.

Dalam sukuk wujil Sunan Bonang pun memberikan penjelasan tentang makna shalat.
“”Janganlah menyembah wahai engkau wujil, jika tidak kelihatan nyata. Sembah dan pujian tidak ada gunannya. Bila yang disembah itu jelas ada dihadapanmu, (maka engkau) mengerti adamu sebagai Yang Maha Agung, adamu sendiri tidak ada. Itulah yang dinamakan daim pada orang yang memuji, menjadi nyata kehendak purba.””

Orang yang melaksanakan sembahyang, akan tetapi tidak bisa mengarahkan ibadahnya tersebut kepada pengetahuan akan Tuhan, dalam ajaran suluk islam jawa dianggap sia-sia. Demikian pula jika shalat hanya dimaksudkan untuk sekedar mendapatkan pahala, maka hal tersebut sia-sia. Orang yang menyembah harus mengetahui benar siapa yang disembah.

Dalam suluk wujil Sunan Bonang berkata:
“” Manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa yang disembah di dunia ini, engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya ditebar tak ada satupun yang mengenai burung sasaranya. Akhirnya, Cuma menyembah adam sarfin, penyembahnya menjadi sia-sia tidak ada gunanya.””

Dalam serat Wedhatama di sebutkan bahwa shalat merupakan sembah raga, yang pelakunya baru disebut magang, agar ia dapat menjalankan penyembahan pada kualitas yang lebih tinggi. Dalam tasawufnya di sebut sebagai riyadhah( latihan ). Adapun tujuan dari sembah raga adalah untuk memperoleh kondisi badan yang lebih sehat dan segar. Agar shalat daim/Dzikr yang dilaksanakan dapat mencapai sasaran yang optimal, maka pelaksanaanya harus dengan sepenuh hati dan pikiran, serta semua daya hanya ditujukan kepad Allah. hal tersebut dinyatakan salam suluk supanalaya, bahwa dzikr harus dengan amuntu hakikat.

Yakni dengan mengheningkan cipta dan merenungkan hakikat Tuhan disertai dengan hati yang penuh dengan kerinduan atau hidayat Tuhan. Jika kinerja tersebut terdapat penyertaan dari Allah yang berupa diberikanya rahmat serta hidayahnya, maka dipastikan orang tersebut akan bisa manunggal dengan Allah. apa yang diciptakan terjadi, dan yang dikehendaki terlaksana. Selemat merenungkan galilah wawasan dari mana saja datangnya untuk pengetahuan.

Wassalam jack kalijaga

Hakikat Pencari Illahi

۞.Hakikat Pencari Illahi

Apa yang dalam khasanah islam diebut sebagian sufi sebenarnya adalah mereka yang dalam kehidupan bergabung dengan kafilah pencari illahi. Sufi atau pencari illahi adalah orang yang menempuh perjalanan rohani menuju hakikat dengan cinta dan kesetiaan. Dia mengetahui bahwa perwujudan hakikat hanya mungkin bagi orang yang sempurna (al insan kamil). Sebab dalam keadaan cacat rohani, manusia tidak dapat memahami hakikat. Sebab kecacatan rohani akan menyebabkan kesalahan dalam memahami hakikat dan tidak menyadarinya.
Dalam pandangan seorang pencari illahi, apa yang dikenal “”sebagai nafsu yang memerintahkan kepada kejahatan””(al-nafs al-ammarah), yang bersemayam dibawah alam sadar, benar-benar mengendalikan dan menguasai pikiran serta perilaku setiap orang. Akibatnya daya pilah seseorang diselubungi hasrat dan daya tarik ‘nafsu yang memerintahkan kepada kejahatan’ itu, sehingga pemilahanya dengan sendirinya menjadi gagal.
Jadi, seorang pencari illahi adalah seorang yang menjalankan rohaninya dengan segenap kesucian dan kebersihan menuju puncak perjalanan, ya itulah Allah. dengan cara mengesampingkan segala hal yang selain Allah (ghairullah) sambil terus berjuang mengendalikan hawa nafsunya. Termasuk dalam proses kehidupan duniawi ketika berinteraksi dengan banyak manusia yang sebenarnya adalah ‘diri kita’ dalam bentuk wadah tubuh yang berbeda.
Dalam hal ini kita bertemu dengan konsep keagamaan murni yang diinginkan sunan kajenar bahwa semua tindakanriil kita antar sesama manusia harus merupakan wujud dari refleksi keimanan kepada Tuhan. Sunan kajenar juga berbeda dalam menerjemahkan makna zakat. Menurutnya zakaat tidak terfokus pada pengeluaran 2,5% dari harta yang kita punya. Ketika seseorang merasa punya harta dan menemukan orang yang patut dibantu maka dia harus segera mengeluarkan sebagian hartanya. Itulah yang dia sebut zakat. Jadi zakat baginya tidak tergantung pada waktu (setahun sekali ) dan jumlahzakat yang mesti di keluarkan menurut aturan fiqih. Namun merupakan hal yang sangat urgent dan fungsional bagi interaksi manusia yang dipenuhi dengan hasrat ke-illahian.
Lebih lagi, mereka adalah orang yang memiliki kemurnian kesadaran dan luasnya spiritual rohaniah serta kecemerlangan hati. Sehingga dengan limpahan nurullah, mereka memiliki ma’rifat yang sempurna dari Allah dan tidak memiliki penolong selain Allah. oleh karenannya segala hal yang menimpa mereka secar fisik tidak mengetarkan semangatnya dalam mengapresiasikan Tuhan dilingkungan dunia manusia. Wajar saja walaupun dihadapkan pada ancaman nyawa sekalipun, mereka tidak pernah bergeming dari sikap nyata itu. Hal ini sudah terjadi pada tokoh sufi martir seperti abu manshur al-hallaj, syuhrawardi al-maqtul,’ayn al-quddat al-hamadani, syekh siti jenar, syekh amongraga, ki baghdad, kiai babeluk, syekh mutamakin dan sebagainya.
Jadi para pencari Tuhan adalah mereka yang memurnikan hati dalam berhubungan dengan makhluk-makhluk lain, meninggalkan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani, mengambil sifat-sifat ruh, mngikatkan pada ilmu-ilmu hakikat dan hikmah, menasehati seluruh manusia, dan mengarahkan satu tujuan hanya pada Tuhan dalam ikatan kesetiaan atas visi rasulullah. Pada sisi inilah konsepsi Nur Muhammad menemukan relevansinya bagi kehidupan manusia.
Seorang sufi besar Dzun Nun Al-Misri menegaskan bahwa kehidupan sufi ditegakkan atas empat tonggak: 1. tidak bergaul dengan Allah kecuali dengan muwafaqah (menyesuaikan dengan-Nya). 2. Tidak bergaul dengan makhluk kecuali dengan munashahah ( saling menyayangi dan memberi nasehat). 3. Tidak bergaul dengan nafsu kecuali dengan mukhalafah (membantah dan mengendalikanya). 4. Tidak bergaul dengan setan kecuali dengan muharabah (memusuhi dan memerangi). Sehingga dunia ini menjadi ajang bagi fungsionalisasi raga untuk keakhiratan. Dalam istilah sunan kajenar, dunia justru menjadi alam kematian yang harus ditinggalkan agar memperoleh kehidupan sejati di alam kehidupan yang sesungguhnya. Penulis dengan sadar banyak yang belum bisa menerima pendapat ini. Sama dengan pengalaman penulis sendiri pada awalnya memang tidak bisa di cerna dengan kedangkalan kita. Tetapi dengan keteguhan jiwa ingin mencari kebenaran sejati, lambat laun ternyata sang pembuka ( al fattah) memberi bimbingan sedikit demi sedikit. Hingga bisa menemukan landasan yang ingin dicari walaupun masih banyak memerlukan bimbingan guru rohani..
Dengan demikian kehadiran para tokoh sufi yang bersih adalah untuk memenuhi kebutuhan bahwa dalam setiap umat terdapat kelompok terpilih ( al-mushthafa) yang menjadi wakil Tuhan dan kekasihnya. Disembunyikan oleh-nya dari makhluk-nya yang lain. Dan itulah yang disebut sufi atau yang kadang disebut waliyullah.
Hanya saja dalam setiap kurun sejarah selalu muncul para sufi dan wali palsu yang selalu mendakwakan dirinya sebagai sufi yang telah mencapai makrifatullah. Menyatu dengan Allah. bahkan menyatakan wali sempurna namun justru perintang manusia menuju ke-illahian dan kemanunggalan. Belum tentu bahwa keadaan mereka memang sebenarnya seperti itu. Bagi sodara yang ingin mencari jalan kebenaran menuju illahi carilah sang guru yang benar-benar ahlinya, supaya bisa menuntun jalan kita menuju kehadiratnya.
Sufi yang sebenarnya dapat di kenali dengan mudah karena ia tetap : 1. Secara dzahir mengamalkan syari’at yang teraplikasi bagi kehidupan manusia, dalam arti syari’at mashlahiyah, dan 2. Secara rohani dapat di jadikan contoh teladan karena mewarisi kerohanian Nabi Muhammad. Pada sisi ini syari’at dipahami sebagai segala bentuk perangkat dalam kesertaan sang pencari illahi dalam mewujudkan eksistensi kekhalifahan dalam rangka menciptakan kemaslahatan manusia. Inilah inti al-islam. Sebuah kepasrahan kepada Tuhan yang mendatangkan kerahmatan bagi seluruh alam (al-islam li al-‘alamin.

Para Kekasih Allah

۞.Para Kekasih Allah

Seseorang dapat menjadi kekasih Allah jika ia dapat menyempurnakan dirinya dengan menempuh jalan rohani sampai kepada ridha Allah. pada tingkat awalnya mungkin seseorang seimbang antara kebaikan dan keburukanya. Semakin lama dirinya semakin dipenuhi oleh kebaikan dan sebaliknya berkurang serta sirnanya keburukan.
Kemudian ego mereka takluk dalam cahaya kalimah laa ilaaha illallah sehingga dalam hatinya muncul al-furqon. Mampu membedakan antara dosa dan pahala,baik dan jahat, bersih, dan kotor mereka hanya menginginkan kebenaran illahi sehingga mereka di sirami oleh nur illahi pula. Mereka tidak lagi memandang dunia yang menjadikan nafsu meeka terikat, dan menjauhi pesona Allah.
Kemudian mereka menyelam ke dunia huwa, dimana si salik telah mampu membersihkan dirinya dari segala sifat buruk dan perilaku yang nista. Dengan itu mereka mendapatkan ketentraman batinya. Hawa nafsu telah tunduk sepenuhnya kedalam kehendak Allah. sehingga sampailah ia kepada majlis Allah. keikhlasan telah menyelimuti jiwanya. Segala yang selain Allah telah sirna dari jiwa dan hatinya. Inilah sufi yang sebenarnya. Hatinya telah bebas dari cengkraman hal-hal yang bersifat jasmani. Dengan hati yang suci dan jiwa yang bersih ia memasuki alam rohani para nabi, syuhada, shiddiqin, dan shalihin.
Ketika ia melaksanakan amalan dari al Qur’an dan Sunnah Nabi, maka amalan itu semakin membawanya dekat dengan Allah. yang terjadi adalah bahwa subtansi dari kitab-kitab suci itu sudah integral dan menjiwai rohaninya. Dia akan menerima ilham dari Allah sehingga menjadi orang yang arif yang ilmunya berasal dari ilmu ladunni. Dengan ilmu itu ia mengetahui antara yang benar dan salah, bisa membedakan mana yang bisikan setan dan yang berasal dari limpahan Allah. ia dipenuhi oleh ketentraman, kedamaian, dan kedekatan dengan Allah. sehingga hatinya pada makhluk Allah menjadi lapang dan sangat tentram. Ia dipenuhi oleh cinta Allah dan mendapatkan kecintaanya.
Apa yang di rasakanya adalah hatinya telah di liputi oleh dzauq dan wajd atawa cinta dan rindu. Ketika berdzikir kepada Allah, ia merasakan keagungan sifat jalal atau keagungan Allah serta merasakan sifat jamal atau keindahan-nya. Semula ia adalah thalib, dalam kondisi ini telah menjadi mathluub, yang mencari menjadi yang dicari, qaashid menjadi maqshuud, yang berhajat menjadi di hajati, murid menjadi murad, yang menuntut menjadi yang di tuntut.
Inilah tarikan dari Allah bagi kekasihnya yang tentu saja lebih baik dari semua amalan manusia dan jin. Huwa- ana, wa ana- huwa, anta- ana , wa ana-anta. Dia adalah Aku. Aku adalah Dia, Kamu adalah Aku, dan Aku adalah Kamu. Sesudah jumbuh ( berkesesuaian antara iradah dan qudrah, keinginan dan ketetapan), maka antara kawula dan gusti menjadi pamor (mensenyawa) sebagai penglihatan batinya. Dan inilah intrik dari filsafat eksistensialisme yang membawa manusia modern mencapai puncak kejayaan pengetahuan. Sayangnya manusia modern hanya mengambil inti filsafat ini secara fisik material sehingga terjadi kekosongan spiritual akan Tuhan.
Dalam hal ini, anda dapat membedakan manusia kekasih Allah dengan manusia yang bukan kekasihnya. Tentu anda pun dapat mengevaluasi diri anda sendiri, berada dalam kondisi kekasihnya atau bukan?
Para kekasih Allah selalu diliputi oleh kebaikan yang memunculkan lima tanda mendasar: à
1. Hati yang lembut sehingga orientasi ibadah fisiknya selalu tertuju bagi keselamatan dan kenyamanan orang lain. Karena dirinya sudah berada dalam kesatuan dengan-Nya sehingga tidak perlu khawatir lagi (la takhaf wa la tahzan, inna-Liaha ma’ana, kata Nabi Muhammad , tidak pernah takut dan khawatir lagi tentang dirinya karena Allah selalu sudah bersama kita.
2. Suka meneteskan air mata penyesalan karena dosa atau setitik noda yang dilakukan, atau terbersit dalam hati. Terutama ketika kemanusiaanya mengalahkan kesejatian ke-Illahianya.
3. Zuhud, yaitu tidak mementingkan kepentingan duniawi dengan segala kekayaan dan kemegahanya yang menjadi hijab terbesar bagi perjalanan spiritualnya.
4. Tidak memiliki angan-angan kosong ini adalah perkiraan bahwa di dunia ini merupakan kehidupan dan sesudahnya alam kematian. Yang sesungguhnya adalah dunia alam kematian spiritual, dan sesudah alam dunia itulah nanti manusia menemukan kehidupan sejati dan abadi.
5. Memiliki kesadaran yang tetap terhadap Allah.

Para kekasih Allah juga diliputi oleh empat sifat yang selalu melekat:à
1. Bisa di beri amanah
2. Suka menepati janji
3. Tidak pernah berdusta
4. Dalam berbicara dan berhubungan sesamanya tidak kasar dan tidak menyakitinya.

Bagi anak cucu adam yang ingin menemukan jalan kebenaran mulai lah dari diri kita sendiri, bukalah semua rahasia yang terselubung. Karna manusia yang bisa membuka dan menemukan jati dirinya maka dialah orang yang beruntung di sisi Tuhanya. Hanya yang di bukakan oleh sang pembuka ( al-fattah) yang akan bisa melihat segala keagungan Tuhan. Seperti kata al-ghazali:
“ wa huwa al-ladzi idza ‘arafahu al-insan faqad ‘arafa nafsahu, wa idza ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” à Apabila manusia yang mengenal hatinya, maka dia sesungguhnya telah mengenal dirinya. Dan apabila ia telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal akan tuhan.

Wassalam jack kalijaga
posted by Jalan trabas @ 04:37 0 comments