Minggu, 24 Mei 2009

۞.Makna Keagungan Tuhan

۞.Makna Keagungan Tuhan
Ketika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar”/ Gusti Allah dan sebagainya, seharusnya pikiran dan perasaan orang tersebut sepenuhnya berada dalam lingkup arti dan makna kalimah agung tersebut, sedangkan hatinya dihadirkan untuk merasakan kehadiran/mengahadap Allah, atau paling tidak batinya dipersiapkan untuk merasakan kehadiran Allah di kedalaman jiwanya( pemaduan keimanan, keislaman dan keihsanan). Sehingga ketika makna keagungan asma’ tersebut meresap ke dalam seluruh sanubari, maka melalui roh al-idhafi-nya, ia akan menyatu dengan roh al-haqq. Sebagai bentuk kepasrahan total dan penyerapan asma’ agung miliknya dapat kita rasakan dalam kehidupan nyata.

Tentu sikap kepasrahan ini diakibatkan oleh karena pribadi kita /seharusnya memang telah merasakan kebesaran itu, sehingga nilai ibadah keagamaan, seperti shalat dan sebagainya sebagai simbol kepasrahan hidup secara total kepada Allah betul-betul dapat kita rasakan, kita sengaja dan tentu kita harapkan keridhaan Allah dari sikap kepasrahan tersebut. Maka dengan kondisi batin seperti inilah seorang hamba dengan takbirnya itu telah betul-betul bersedia menghadap Allah. jadi jiwa tersebut telah dengan bulat/hanya kepada Allah menghadap, hamba tersebut telah bertindak mati sak jeroning urip, dimana Allah telah menjadi satu-satunya tujuan hidupnya. Maka wajarlah, dengan ibadahnya yang penuh kelimpahan keagungan Tuhan tersebut, seorang mukmin akan bisa merasakan “dialog” dengan Tuhan. Disini pula ia akan mampu merasakan jawaban Tuhan atas semua yang diucapkan dalam kesadaran murni ruhaninya. Oleh karenanya pengagungan /tuhan tersebut juga menuntut suatu kesadaran utuh bahwa Allah adalah sangkan paraning dumadi/ inna li-Lla-i wa inna ilayhi raji’un. Karena kesadaran seperti itu jarang terdapat pada orang beragama sebenarnya taat pada aturan syariat, maka sekarang banyak kita jumpai bahwa dalam pelaksanaan ibadah syariat yang dilakukan terasa kering, dan hampa spiritual, tidak mampu merasakan kenikmatan dari perbuatan yang dilakukan.Itulah makna takbirat al-ihram,takbir yang mengharamkan segala hal diluar Allah dalam shalat atau sembahyang seorang muslim secara syariat. Segala aspek kebutuhan dan pemenuhan manusiawiyah serta segala sesuatu tentang keduniaan telah “haram” karena segalanya telah diorientasikan guna menghadap/ tawajjuh kepada Allah sepenuhnya dalam hidup. Dengan takbir konkret itu, maka kekerdilan seorang hamba dihadapan Allah akan menjadi kebesaranya dihadapan sesama makhluk, sebab keagungan Allah akan bisa memancar pada diri seseorang yang dengan tulus dan ikhlas menghambakan dirinya di depan keagungan-Nya.

Dengan kebesaran Allah, segala yang di luar itu menjadi tidak berarti dalam kehidupanya. Dan orang yang bisa merasakan kebesaran sang pencipta itu, juga memandang bahwa segala hal di dunia ini sangat kecil, seperti kekerdilan dirinya di hadapan Allah, ibarat setitik debu di padang pasir. Adakah keinginan duniawi masih mewarnai atau malah mendominasi kedirian seseorang, ketika ia telah berada di dalam kebesaran-Nya? Hal ini tidak mungkin terjadi dalam diri jiwa orang yang shalih, hanif, dan halim.

Dengan kesadaran tauhid murni berangkat dari keagungan Tuhan itulah, maka dalam konteks pengalaman spiritualnya tokoh sufi jawa lebih sering menggunakan ungkapan “sang dzat wajibul maulana dan “sang hyang manon untuk memperkenalkan nama Tuhan di asia tenggara, atau entitas muslim jawa pada khususnya. Maknanya adalah Dzat yang wajib melindungi, yang wajib memimpin, yang wajib mengayomi, dan itulah Dzat wajibul mulyaningrat. Istilah-istilah tersebut tentu sangat membekas di hati sanubari masyarakat indonesia saat itu, karena penyebutan nama Tuhan terasa lebih konkret dan lebih dekat kosakata lokal masyarakat. Makna subtansinya sama dengan Allahu akbar dalam bahasa arab. Bagi sunan kalijaga, sunan kajenar, sunan panggung dan sebagainya, bahasa seharusnya tidak menjadikan kendala begi seseorang untul mengenal dan mempersepsi Tuhan dalam jiwanya.
Pada tataran kerohanian ini pula, maka melihat gejala bahwa secara spiritual masyarakat indonesia waktu itu sudah sangat kaya dengan pengalaman rohani, maka para sufi jawa memperkenalkan pola sembahyang/ shalat daim, dimana kondisi hati, pikiran dan gerakan selalu diarahkan pada orientasi kesadaran”tidak ada Tuhan yang maujud kecuali Allah”. sehingga orang tidak terjebak pada belenggu aturan formal keagamaan yang dibuat manusia, justru bahwa rohaninya dimerdekakan dan dibebaskan untuk merasakan Tuhan dalam dirinya, sekaligus karena pengucapan nama Tuhan berasal dari kesadaran rohani terdalam dan pengalaman konkret menyatu dengan Tuhan, mereka juga memiliki kebebasan untuk memberikan nama kepada Tuhan. Ya itulah subtansi “Allahu Akbar” yang bukan mengacu pada nama Tuhan yang di “langit”, namun lebih bergerak kebawah/ tanazzul, berorientasi pada sikap rohani manusia yang mampu merasakan kehadiran Tuhan secara nyata.
Sementara bagi orang yang masih awam dan hanya memiliki bekali fiqih untuk menghadap Allah, sunan kajenar dan sunan kalijaga dan sebagainya mengenalkan shalat tarek lima waktu, serta shalat saru raka’at salam, sebagai bekal untuk memasuki gerbang rohani menuju ma’rifatullah. Tentu saja bahwa bacaan shalatnya bersifat kombinasi antara arab dan jawa, yang bagi para sufi yang arif shalat dengan bahasa lokal, disamping beberapa bacaan yang wajib memakai arabnya, diperbolehkan, sebagaimana juga dipahami dalam monteks fiqih mazhab syafi’iyah dan malikiyah/ al-jazairi,t.t.:1, 221-226.

jack kalijaga
posted by Jalan trabas @ 04:22 0 comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar