Selasa, 08 November 2011

Suluk SUnan bonang 2

۞.Suluk Jebeng Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang: Puncak ilmu yang sempurna Seperti api berkobar Hanya bara dan nyalanya Hanya kilatan cahaya Hanya asapnya kelihatan Ketauilah wujud sebelum api menyala Dan sesudah api padam Karena serba diliputi rahasia Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan? Jangan tinggikan diri melampaui ukuran Berlindunglah semata kepada-Nya Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh Jangan bertanya Jangan memuja nabi dan wali-wali Jangan mengaku Tuhan Jangan mengira tidak ada padahal ada Sebaiknya diam Jangan sampai digoncang Oleh kebingungan Pencapaian sempurna Bagaikan orang yang sedang tidur Dengan seorang perempuan, kala bercinta Mereka karam dalam asyik, terlena Hanyut dalam berahi Anakku, terimalah Dan pahami dengan baik Ilmu ini memang sukar dicerna Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai julukan kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972). Mungkin ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12). Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu ”wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu agama. Suluk Wujil Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka. Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah. Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa. Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan. Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat: 1 Dan warnanen sira ta Pun Wujil Matur sira ing sang Adinira Ratu Wahdat Ratu Wahdat Panenggrane Samungkem ameng Lebu? Talapakan sang Mahamuni Sang Adhekeh in Benang, mangke atur Bendu Sawetnya nedo jinarwan Saprapating kahing agama kang sinelit Teka ing rahsya purba 2 Sadasa warsa sira pun Wujil Angastupada sang Adinira Tan antuk warandikane Ri kawijilanipun Sira wujil ing Maospait Ameng amenganira Nateng Majalanggu Telas sandining aksara Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti Anuhun pangatpada 3 Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih Ing talapakan sang Jati Wenang Pejah gesang katur mangke Sampun manuh pamuruh Sastra Arab paduka warti Wekasane angladrang Anggeng among kayun Sabran dina raraketan Malah bosen kawula kang aludrugi Ginawe alan-alan 4 Ya pangeran ing sang Adigusti Jarwaning aksara tunggal Pengiwa lan panengene Nora na bedanipun Dening maksih atata gendhing Maksih ucap-ucapan Karone puniku Datan polih anggeng mendra-mendra Atilar tresna saka ring Majapait Nora antuk usada 5 Ya marma lunganging kis ing wengi Angulati sarasyaning tunggal Sampurnaning lampah kabeh Sing pandhita sundhuning Angulati sarining urip Wekasing jati wenang Wekasing lor kidul Suruping radya wulan Reming netra lalawa suruping pati Wekasing ana ora Artinya, lebih kurang: 1 Inilah ceritera si Wujil Berkata pada guru yang diabdinya Ratu Wahdat Ratu Wahdat nama gurunya Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung Yang tinggal di desa Bonang Ia minta maaf Ingin tahu hakikat Dan seluk beluk ajaran agama Sampai rahasia terdalam 2 Sepuluh tahun lamanya Sudah Wujil Berguru kepada Sang Wali Namun belum mendapat ajaran utama Ia berasal dari Majapahit Bekerja sebagai abdi raja Sastra Arab telah ia pelajari Ia menyembah di depan gurunya Kemudian berkata Seraya menghormat Minta maaf 3 “Dengan tulus saya mohon Di telapak kaki tuan Guru Mati hidup hamba serahkan Sastra Arab telah tuan ajarkan Dan saya telah menguasainya Namun tetap saja saya bingung Mengembara kesana-kemari Tak berketentuan. Dulu hamba berlakon sebagai pelawak Bosan sudah saya Menjadi bahan tertawaan orang 4 Ya Syekh al-Mukaram! Uraian kesatuan huruf Dulu dan sekarang Yang saya pelajari tidak berbeda Tidak beranjak dari tatanan lahir Tetap saja tentang bentuk luarnya Saya meninggalkan Majapahit Meninggalkan semua yang dicintai Namun tak menemukan sesuatu apa Sebagai penawar 5 Diam-diam saya pergi malam-malam Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna Semua pendeta dan ulama hamba temui Agar terjumpa hakikat hidup Akhir kuasa sejati Ujung utara selatan Tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan hakikat maut Akhir ada dan tiada Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain. Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab: 6 Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi Heh ra Wujil kapo kamangkara Tan samanya pangucape Lewih anuhun bendu Atunira taha managih Dening geng ing sakarya Kang sampun alebu Tan padhitane dunya Yen adol warta tuku warta ning tulis Angur aja wahdat 7 Kang adol warta tuhu warti Kumisum kaya-kaya weruha Mangke ki andhe-andhene Awarna kadi kuntul Ana tapa sajroning warih Meneng tan kena obah Tinggalipun terus Ambek sadu anon mangsa Lirhantelu outihe putih ing jawi Ing jro kaworan rakta 8 Suruping arka aganti wengi Pun Wujil anuntu maken wraksa Badhi yang aneng dagane Patapane sang Wiku Ujung tepining wahudadi Aran dhekeh ing Benang Saha-saha sunya samun Anggaryang tan ana pala boga Ang ing ryaking sagara nempuki Parang rong asiluman 9 Sang Ratu Wahdat lingira aris Heh ra Wujil marangke den enggal Tur den shekel kukuncire Sarwi den elus-elus Tiniban sih ing sabda wadi Ra Wujil rungokna Sasmita katenggun Lamun sira kalebua Ing naraka isung dhewek angleboni Aja kang kaya sira … 11 Pangestisun ing sira ra Wujil Den yatna uripira neng dunya Ywa sumambar angeng gawe Kawruhana den estu Sariranta pon tutujati Kang jati dudu sira Sing sapa puniku Weruh rekeh ing sariri Mangka saksat wruh sira Maring Hyang Widi Iku marga utama Artinya lebih kurang: 6 Ratu Wahdat tersenyum lembut “Hai Wujil sungguh lancang kau Tuturmu tak lazim Berani menagih imbalan tinggi Demi pengabdianmu padaku Tak patut aku disebut Sang Arif Andai hanya uang yang diharapkan Dari jerih payah mengajarkan ilmu Jika itu yang kulakukan Tak perlu aku menjalankan tirakat 7 Siapa mengharap imbalan uang Demi ilmu yang ditulisnya Ia hanya memuaskan diri sendiri Dan berpura-pura tahu segala hal Seperti bangau di sungai Diam, bermenung tanpa gerak. Pandangnya tajam, pura-pura suci Di hadapan mangsanya ikan-ikan Ibarat telur, dari luar kelihatan putih Namun isinya berwarna kuning 8 Matahari terbenam, malam tiba Wujil menumpuk potongan kayu Membuat perapian, memanaskan Tempat pesujudan Sang Zahid Di tepi pantai sunyi di Bonang Desa itu gersang Bahan makanan tak banyak Hanya gelombang laut Memukul batu karang Dan menakutkan 9 Sang Arif berkata lembut “Hai Wujil, kemarilah!” Dipegangnya kucir rambut Wujil Seraya dielus-elus Tanda kasihsayangnya “Wujil, dengar sekarang Jika kau harus masuk neraka Karena kata-kataku Aku yang akan menggantikan tempatmu” … 11 “Ingatlah Wujil, waspadalah! Hidup di dunia ini Jangan ceroboh dan gegabah Sadarilah dirimu Bukan yang Haqq Dan Yang Haqq bukan dirimu Orang yang mengenal dirinya Akan mengenal Tuhan Asal usul semua kejadian Inilah jalan makrifat sejati” Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan, maka ’pengetahuan diri’ dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ’Pengetahuan diri’ di sini terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud penulis sufi ialah ‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai ‘hamba-Nya’. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan ”Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar