Kamis, 30 April 2009

Penganut Samin

۞.Kudus (ANTARA News) - Penganut ajaran Samin mengakui agamanya merupakan Agama Adam, yang diwujudkan dalam perilaku kehidupan dengan berpegang pada prinsip dan pantangan hidup dari leluhurnya.

Hal itu terungkap pada acara bedah buku "Samin Kudus bersahaja di tengah asketisme lokal" yang ditulis Moh Rosyid, di Universitas Muria Kudus (UMK), Jateng, Rabu.

"Meskipun agamanya berbeda dari agama yang diakui pemerintah, Pemerintah Kabupaten Kudus tetap menghormatinya dengan mengosongkan kolom agama dalam KTP (kartu tanda penduduk) untuk komunitas Samin," kata pembedah buku, Agus Sisnowo, kandidat master psikologi sosial dari Fakultas Psikologi UMK.

Karena itu, menurut dia, masyarakat lain harus menghormati keberagaman agama yang dianut masyarakat Samin. "Apalagi, masyarakat Samin terkenal dengan kearifan lokalnya," katanya.

Bahkan, pada kata pengantar buku ini dijelaskan komunitas yang bertahan hidup adalah mereka yang paling cepat dalam menyikapi kehidupan dan yang bertahan, dialah yang paling (memiliki) kekuatan.

"Dalam konteks Samin Kudus, yang bertahan ternyata merekalah yang paling bersahaja," katanya.

Menurut dia, hal itu menunjukkan masih ada realitas sosial (sekelompok masyarakat) yang bertahan dan bersaing dalam arus zaman yang modern, tetapi tetap mempertahankan kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, buku ini juga menjelaskan pergeseran penganut Samin Kudus yang dipetakan menjadi empat tipologi.

Di antaranya Samin murni (dlejet), Samin sangkok, Samin amping-amping, dan Samin samiroto.

Ia menjelaskan Samin samiroto merupakan Samin yang serba bisa, memudahkan prinsip ingin mengikuti budaya luar Samin.

Pada dasarnya, kata dia, istilah Samin berawal dari berkembangnya ajaran Samin yang dipelopori Kiai Samin Surosentiko (Raden Kohar) yang semula merupakan pujangga Jawa pesisiran pasca Ronggowarsito, yang menyamar sebagai petani untuk menghimpun kekuatan melawan Belanda.

Selanjutnya pada 1890 mengembangkan ajaran Samin di Desa Klopodhuwur, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Setelah jumlah pengikutnya bertambah banyak, pada 1905 melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Namun, pada 1907 Kiai Samin Surosentiko beserta pengikutnya diculik Belanda, kemudian dibuang ke Sawahlunto, Padang, Sumatra Barat, dan wafat pada 1914.(*)

COPYRIGHT © 2009 ANTARA

PubDate: 29/04/09 22:18

Sabtu, 25 April 2009

Syahadat Jenar

۞.Syahadat Jenar
Diterbitkan Nopember 9, 2007 Perjalanan Spiritual 214 Komentar
Tags: Islam, kejawen, siti jenar, spiritual, sufi, syahadat

Ketika saya melihat syahadat para pengikut nabi baru itu di TV, yang akhirnya di hukum sebagai kesesatan karena dianggap berbeda dengan syahadat pada umumnya. Maka kembali pikiran aneh saya bekerja, bagaimana kira kira pandangan masyarakat mengenai sasahidan (syahadat) dari Syech Siti Jenar berikut ya?
Aku bersaksi di hadapan Dzat-Ku sendiri
Sesungguhnya tiada Tuhan selain Aku
Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku
Sesungguhnya yang di sebut Allah itu badan-Ku
Rasul itu rasa-Ku
Muhammad itu cahaya-Ku
Akulah yang hidup tidak terkena kematian
Akulah yang kekal tanpa kena perubahan di segala keadaan
Akulah yang selalu mengawasi dan tiada sesuatu pun yang luput dari pengawasan-Ku
Akulah yang mahakuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian
Sempurna terang-benderang
Tidak terasa apa-apa
Tidak kelihatan apa-apa
Hanya Aku yang meliputi seluruh alam dan kodrat-Ku
Dan terus terang mungkin jika dia yang dianggap menucapkan syahadat ini, masih hidup dan kebetulan bertemu dengan kamu, maka niscaya tanpa ragu akan di bunuh di tempat karena dianggap sesat dan menyesatkan. Apalagi jika dia mengaku sebagai beragama Islam, tentu akan semakin cepat di bunuhnya.
Kalo aku sendiri ketika membaca syahadat tersebut, langsung mempunyai pemahaman bahwa kemungkinan saat mengucapkannya, Syech Siti Jenar sudah sirna, yang ada itu hanya Dia sang Keberadaan. Maka yang keluar dari mulut Syech Siti Jenar bukan dari dia melainkan dari Dia. Atau dengan kalimat lain bahwa mulut Syech Siti Jenar sedang di pakai oleh Dia untuk menyampaikan sebuah wahyu. Dan inilah yang sering salah di mengerti, malahan Syech Siti Jenar pun di hukum mati karena dianggap mengaku jadi Tuhan.

Perjalanan Menemukan Jati Diri

۞.[
View Full Version : [serial Syekh Siti Jenar] Perjalanan Menemukan Jati Diri
________________________________________
send@ljepit
13-09-2008, 12:46 AM
Padepokan Giri Amparan Jati

Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus]
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.

Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.

Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.

Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.

Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).


Pencerahan Rohani di Baghdad

Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.

Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.

Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.

Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.

Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.

Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.

Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.

Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.

Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.

Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.

Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.

Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).

Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.
________________________________________
bogrex

ABU MANSYUR AL HALLAJ

۞.AL HALLAJ
24 Jan 2009 | 0 Comments | Artikel
Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: “Akulah Kebenaran”, ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid’ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut.
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, “Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu kata-kata Allah sendiri!”. Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, “Kata-kata ‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”
Kehidupan Al-Hallaj
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj. Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasika n apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884M, ia sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan politis lantaran hubungan al-Aqta) Betapapun juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.
Enam tahun berlalu, dan pada 892M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid.
Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang gantungan.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: “Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh.” Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, “Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka.”
Yang mengherankan, kata-kata ini mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan kelas penguasa. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembankan Allah dan Islam atas dirinya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat dan, dengan harapan meraih kekuasaan, berusaha memanfaatkan pengaruhnya pada masyarakat untuk menimbulkan gejolak dan keresahan. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial. Di atas segalanya, berbagai gejolak pun muncul dan sudah pasti berakhir secara dramatis.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangan nya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Sang penasehat khalifah termasuk di antara sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
Demikian, al-Hallaj dibunuh secara brutal. Akan tetapi ia tetap hidup dalam kalbu orang-orang yang merindukan capaian rohaninya. Dengan caranya sendiri, ia telah menunjukkan pada para pencari kebenaran langkah-langkah yang mesti ditempuh sang pecinta agar sampai pada kekasih Berbagai legenda dan kisah tentang al-Hallaj Bagaimana mulanya Husain ibn manshur di sebut al-Hallaj sebuah nama yang berarti penggaru (khususnya kapas)? Menurut Aththar, suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu. Biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas. Ia juga dijuluki Hallaj- al-asrar –penggaru segenap Kalbu– karena ia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.
Al-Hallaj terkenal karena berbagai keajaibanya. Salah satu orang muridnya menuturkan kisah berikut ini:
Sewaktu menunaikan ibadah haji kedua kalinya, al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengatakan bahwa ia ingin makan manisan.
Murid-muridnya kebingungan lantaran mereka telah memakan habis semua bekal yang mereka bawa. Al-Hallaj tersenyum dan berjalan menembus kegelapan malam. Beberapa menit kemudian, ia kembali sambil membawa makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah mereka ketahui sebelumya. Ia meminta mereka untuk makan bersamanya, seorang muridnya, yang penasaran dan ingin tahu dari mana al-Hallaj memperolehnya, menyembunyikan kue bagiannya, ketika mereka kembali dari mengasingkan diri sang murid ini mencari seseorang yang bisa mengetahui asal kue itu, seseorang dari Zabid, sebuah kota yang jauh dari situ, mengetahui bahwa kue itu berasal dari kotanya, sang murid yang keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj memperoleh kue itu secara ajaib. “Tak ada seorang pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak sedemikian jauh dalam waktu singkat”! serunya.
Pada kesempatan lain al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan menuju Mekah. Di suatu tempat, sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara, dia ia pun mengabil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta halwa, ia membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya kepada mereka, usai memakannya mereka mengatakan bahwa kue itu khas berasal dari daerah anu di Bagdad, mereka bertanya ihwal bagaimana ia memperolehnya. Ia hanya menjawab, baginya Baghdad dan padang pasir sama dan tidak ada bedanya, kemudian mereka meminta kurma, ia diam sejenak berdiri dan menyuruh mereka untuk menggerakkan tubuh mereka seperti mereka menggoyang-goyang pohon kurma, mereka melakukannya, dan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju mereka.
Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada usia lima puluh tahun ia mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktek apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat wajib, dengan shalat wajib ini ia melakukan wudhu jasmani secara sempurna.
Ketika ia mulai menempuh jalan ini, ia hanya mempunyai sehelai jubah tua dan dan bertambal yang telah dikenakannya selama bertahun-tahun. Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan diketahui bahwa ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya –yang salah satunya berbobot setengah ons. Pada kesempatan lain, ketika ia memasuki sebuah desa, orang-orang melihat kalajengking besar yang mengikutinya. Mereka ingin membunuh kalajengking itu, ia menghentikan mereka seraya mengatakan bahwa kalajengking itu telah bersahabat dengannya selama dua belas tahun, tampaknya ia sudah sangat lupa pada nyeri dan sakit jasmani.
Kezuhudan al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya ia menjalin hubungan sangat khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Mekah, ia melihat orang-orang bersujud dan berdoa, “Wahai Engkau. Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar.”
Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu. Suatu hari, ia berkata kepada sahabatnya, Syibli, bahwa ia sibuk dengan tugas amat penting yang bakal mengantarkan dirinya pada kematiannya. Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai keajaibannya dibicarakan banyak orang. Ia menarik sejumlah besar pengikut dan juga melahirkan musuh yang sama banyaknya, akhirnya, khalifah sendiri mengetahui bahwa ia mengucapkan kata-kata bid’ah, “Akulah Kebenaran.” Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk mengucapkan, Dia-lah Kebenaran ia hanya menjawab, “Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian.”
Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj belajar dibawah bimbingan Junaid, ia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali menemui Junaid dengan sejumlah pertanyaan. Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia bakal melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan cara yang bakal bisa menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, “Bunuhlah ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan. ” al-Hallaj di jebloskan ke penjara. Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para sipir penjara mencari-carinya. Mereka heran. Ternyata selnya kosong. Pada malam kedua, bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu sendiri pun hilang!
Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana engkau pada malam pertama? ia menjawab, “pada malam pertama aku ada di hadirat Allah. Karena itu aku tidak ada di sini. Pada malam kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku di suruh kembali!”
Beberapa hari sebelum dieksekusi, ia berjumpa dengan sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dan semuanya dibelenggu. ia berkata bahwa ia akan membebaskan mereka semua, mereka heran karena ia berbicara hanya tentang kebebasan mereka dan bukan kebebasannya sendiri ia berkata kepada mereka: “Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini,” kemudian ia menunjuk belenggu-belenggu itu dengan jarinya dan semuanya pun terbuka. Para narapidana pun heran bagaimana mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci. Ia menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah tembok itu. “Engkau tidak ikut bersama kami?” tanya mereka “Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!” jawabnya
Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia menjawab bahwa ia telah membebaskan mereka semua.
“Mengapa engkau tidak sekalian pergi?” tanya mereka “Dia mencela dan menyalahkanku. Karenanya aku harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman,” jawabnya.
Sang khalifah yang mendengar percakapan ini, berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan kesulitan, karena itu, ia memerintahkan, “Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik kembali ucapannya!” Al-Hallaj dicambuk tiga ratus kali dengan rotan, setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru, “Jangan takut, putra Manshur.”
Mengenang hari itu, seorang sufi syekh Shaffar, mengatakan aku lebih percaya pada akidah sang algojo ketimbang akidah al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan Hukum Ilahi sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.
Al-Hallaj digiring untuk di eksekusi. Ratusan orang berkumpul. Ketika ia melihat kerumunan orang, ia berseru lantang, “Haqq, Haqq, ana al-Haqq –Kebenaran, kebenaran, Akulah kebenaran.”
Pada waktu itu, seorang darwis memohon al-Hallaj untuk mengajarinya tentang cinta. Al-Hallaj mengatakan bahwa sang darwis akan melihat dan mengetahui hakikat cinta pada hari itu, hari esok, dan hari sesudahnya.
Al-Hallaj dibunuh pada hari itu. Pada hari kedua tubuhnya dibakar, dan pada hari ketiga abunya ditebarkan dengan angin, Melalui kematiannya, al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan kesengsaraan demi orang lain.
Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan dengan sedemikian bangga. “Mengapa engkau berjalan sedemikian bangga?” tanya orang-orang. “Aku bangga lantaran aku tengah berjalan menuju ketempat pejagalanku, ” jawabnya kemudian ia melantunkan syair demikian:
Kekasihku tak bersalah Diberi aku anggur dan amat memperhatikanku,
laksana tuan rumah perhatikan sang tamu Setelah berlalu sekian lama,
dia menghunus pedang dan menggelar tikar pembantaian Inilah balasan buat mereka yang minum anggur lama bersama dengan singa tua di musim panas.
Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka rela ia menaiki tangga sendiri. Seseorang bertanya tentang hal (keadaan spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para pahlawan justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan menuju puncak itu.
Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya, “Apa itu tasawuf?” al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkatan tasawuf paling rendah. “Adakah yang lebih tinggi dari ini?” tanya Syibli “Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya! “, jawab al-Hallaj. Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepadanya dan bertanya, “Engkau bilang aku dan aku juga bilang aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan aku, kutukan abadi?”
Al-Hallaj menjawab, “Engkau bilang aku dan melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku beroleh rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik.”
Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan batu. Namun, ketika Syibli melemparkan bunga kepadanya untuk pertama kalinya, al-Hallaj merasa kesakitan. Seseorang bertanya, “Engkau tidak merasa kesakitan dilempari batu, tapi lembaran sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan mengapa?
Al-Hallaj menjawab “Orang-orang yang jahil dan bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya. ”
Sang algojo pun memotong kedua tangannya. Al-Hallaj tertawa dan berkata, “Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah.” (dengan kata lain, meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras dan luar biasa). Sang Algojo lantas memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan berkata, “Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya! ”
Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lenganya yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan lengannya berdarah. “Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?” tanya orang-orang. Ia menjawab bahwa karena ia sudah kehilangan darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah agar orang jangan menyangka bahwa ia takut mati.
“Mengapa,” tanya mereka, “Engkau membasahi lenganmu dengan darah?” Ia menjawab, “Aku sedang berwudu. Sebab, dalam salat cinta. Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan dengan darah.”
Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj. Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian menangis dan sebagian lainnya melontarkan sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya dipotong. Sang algojo hendak memotong lidahnya. Al-Hallaj memohon waktu sebentar untuk mengatakan sesuatu, “Ya Allah, janganlah engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan karena Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka memotong tanganku karena Engkau semata. Dan kalau mereka memenggal kepalaku, itu pun mereka melakukan karena keagungan-Mu. ” Kemudian ia mengutip sebuah ayat Al-Qur’an:
“Orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat bersegera ingin mengetahuinya, tetapi orang-orang beriman berhati-hati karena mereka tahu bahwa itu adalah benar.”
Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang ada dalam ekstase “Cukuplah sudah satu kekasih.”
Tubuhnya yang terpotong, yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo memenggal kepalanya. Ketika kepalanya dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal dunia. Orang-orang berteriak tapi al-Hallaj menunjukkan betapa berbahagia ia bersama dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, “Akulah kebenaran”, sewaktu meninggal dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk nama Allah.
Hari berikutnya mereka yang berkomplot menentangnya, memutuskan bahwa bahkan tubuh al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun masih menimbulkan kesulitan bagi mereka. Karena itu, mereka pun memerintahkan agar tubuhnya di bakar saja. Malahan, abu jenazahnya berseru, “Akulah Kebenaran.”
Al-Hallaj telah meramalkan kematiannya sendiri dan memberitahu pembantunya bahwa ketika abu jenazahnya dibuang ke sungai Tigris permukaan sungai akan naik sehingga seluruh Baghdad pun terancam tenggelam. Ia memerintahkan pembantunya menaruh jubahnya ke sungai untuk meredakan ancaman banjir, pada hari ketiga ketika abu jenazahnya diterbangkan oleh angin ke sungai. Permukaan air pun terbakar, air mulai naik, dan sang pembantu melakukan apa yang diperintahkannya, permukaan air pun surut, api padam, dan abu jenazah al-Hallaj pun diam.
Waktu itu, seorang tokoh terkemuka mengatakan bahwa ia melakukan salat sepanjang malam di bawah tiang gantungan sepanjang malam. Ketika fajar menyingsing, terdengarlah suara gaib berseru, “Kami berikan salah satu rahasia kami dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah hukuman bagi mereka yang mengungkapkan segenap rahasia kami.”
Syibli menyebutkan bahwa, suatu malam. Ia mimpi bertemu dengan al-Hallaj dan bertanya, “Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?” Al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang tahu bahwasanya ia benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran, oleh sebab itu, mereka menginginkan kematiannya, kematiannya karena Allah semata. Allah merahmati kedua kelompok ini. Keduanya beroleh berkah dan rahmat dari Allah.

Sabtu, 11 April 2009

Sufisme Syekh Siti Jenar

۞.Sufisme Syekh Siti Jenar, Kesamaan Tuntas Syekh Siti Jenar dg Allah.
April 5th, 2009 | Filed under English entries.
“…Marilah kita bicara dengan terus terang. Aku ini Allah, akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada yang lain yang bernama Allah…
Aku menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan.
Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan ini tidak ada..
Yang kita bicarakan adalah ilmu sejati. Dan untuk semua orang kita membuka tabir (artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi)”
(Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22)
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan.
Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya bergelar Prabu Satmata.
Ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya…
Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan kemanunggalan.
Sedangkan bangkai itu selamanya akan tidak ada.
Adapun yang dibicarakan sekarang adalah ilmu sejati yang dapat membuka tabir kehidupan.
Dan lagi, semuanya sama, sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi…
Jika ada perbedaan apapun itu bentuknya, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.”
(Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit.
Allah berada dalam dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh.
Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci..”
(Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46)
Dalam sidang para wali yang dipimpin Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton, penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan adalah menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan?”

Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal.
Dia mengajarkan kesamaan tuntas antara sang pembicara dengan Allah.
Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang tinggi yang pernah dialaminya.
Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman) antara sang pembicara dnegan Allah.
Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan “Hyang Manon” atau “Yang Maha Tahu”.
Gelar tersebut juga diberikan kepada Walisanga kepada Sunan Giri.
Nampaknya Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Justru dengan membuka tabir tersembunyi, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya sendiri…

Makna Keagungan Tuhan

۞

Ketika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar”/ Gusti Allah dan sebagainya, seharusnya pikiran dan perasaan orang tersebut sepenuhnya berada dalam lingkup arti dan makna kalimah agung tersebut, sedangkan hatinya dihadirkan untuk merasakan kehadiran/mengahadap Allah, atau paling tidak batinya dipersiapkan untuk merasakan kehadiran Allah di kedalaman jiwanya( pemaduan keimanan, keislaman dan keihsanan). Sehingga ketika makna keagungan asma’ tersebut meresap ke dalam seluruh sanubari, maka melalui roh al-idhafi-nya, ia akan menyatu dengan roh al-haqq. Sebagai bentuk kepasrahan total dan penyerapan asma’ agung miliknya dapat kita rasakan dalam kehidupan nyata.

Tentu sikap kepasrahan ini diakibatkan oleh karena pribadi kita /seharusnya memang telah merasakan kebesaran itu, sehingga nilai ibadah keagamaan, seperti shalat dan sebagainya sebagai simbol kepasrahan hidup secara total kepada Allah betul-betul dapat kita rasakan, kita sengaja dan tentu kita harapkan keridhaan Allah dari sikap kepasrahan tersebut. Maka dengan kondisi batin seperti inilah seorang hamba dengan takbirnya itu telah betul-betul bersedia menghadap Allah. jadi jiwa tersebut telah dengan bulat/hanya kepada Allah menghadap, hamba tersebut telah bertindak mati sak jeroning urip, dimana Allah telah menjadi satu-satunya tujuan hidupnya. Maka wajarlah, dengan ibadahnya yang penuh kelimpahan keagungan Tuhan tersebut, seorang mukmin akan bisa merasakan “dialog” dengan Tuhan. Disini pula ia akan mampu merasakan jawaban Tuhan atas semua yang diucapkan dalam kesadaran murni ruhaninya. Oleh karenanya pengagungan /tuhan tersebut juga menuntut suatu kesadaran utuh bahwa Allah adalah sangkan paraning dumadi/ inna li-Lla-i wa inna ilayhi raji’un. Karena kesadaran seperti itu jarang terdapat pada orang beragama sebenarnya taat pada aturan syariat, maka sekarang banyak kita jumpai bahwa dalam pelaksanaan ibadah syariat yang dilakukan terasa kering, dan hampa spiritual, tidak mampu merasakan kenikmatan dari perbuatan yang dilakukan.Itulah makna takbirat al-ihram,takbir yang mengharamkan segala hal diluar Allah dalam shalat atau sembahyang seorang muslim secara syariat. Segala aspek kebutuhan dan pemenuhan manusiawiyah serta segala sesuatu tentang keduniaan telah “haram” karena segalanya telah diorientasikan guna menghadap/ tawajjuh kepada Allah sepenuhnya dalam hidup. Dengan takbir konkret itu, maka kekerdilan seorang hamba dihadapan Allah akan menjadi kebesaranya dihadapan sesama makhluk, sebab keagungan Allah akan bisa memancar pada diri seseorang yang dengan tulus dan ikhlas menghambakan dirinya di depan keagungan-Nya.

Dengan kebesaran Allah, segala yang di luar itu menjadi tidak berarti dalam kehidupanya. Dan orang yang bisa merasakan kebesaran sang pencipta itu, juga memandang bahwa segala hal di dunia ini sangat kecil, seperti kekerdilan dirinya di hadapan Allah, ibarat setitik debu di padang pasir. Adakah keinginan duniawi masih mewarnai atau malah mendominasi kedirian seseorang, ketika ia telah berada di dalam kebesaran-Nya? Hal ini tidak mungkin terjadi dalam diri jiwa orang yang shalih, hanif, dan halim.

Dengan kesadaran tauhid murni berangkat dari keagungan Tuhan itulah, maka dalam konteks pengalaman spiritualnya tokoh sufi jawa lebih sering menggunakan ungkapan “sang dzat wajibul maulana dan “sang hyang manon untuk memperkenalkan nama Tuhan di asia tenggara, atau entitas muslim jawa pada khususnya. Maknanya adalah Dzat yang wajib melindungi, yang wajib memimpin, yang wajib mengayomi, dan itulah Dzat wajibul mulyaningrat. Istilah-istilah tersebut tentu sangat membekas di hati sanubari masyarakat indonesia saat itu, karena penyebutan nama Tuhan terasa lebih konkret dan lebih dekat kosakata lokal masyarakat. Makna subtansinya sama dengan Allahu akbar dalam bahasa arab. Bagi sunan kalijaga, sunan kajenar, sunan panggung dan sebagainya, bahasa seharusnya tidak menjadikan kendala begi seseorang untul mengenal dan mempersepsi Tuhan dalam jiwanya.
Pada tataran kerohanian ini pula, maka melihat gejala bahwa secara spiritual masyarakat indonesia waktu itu sudah sangat kaya dengan pengalaman rohani, maka para sufi jawa memperkenalkan pola sembahyang/ shalat daim, dimana kondisi hati, pikiran dan gerakan selalu diarahkan pada orientasi kesadaran”tidak ada Tuhan yang maujud kecuali Allah”. sehingga orang tidak terjebak pada belenggu aturan formal keagamaan yang dibuat manusia, justru bahwa rohaninya dimerdekakan dan dibebaskan untuk merasakan Tuhan dalam dirinya, sekaligus karena pengucapan nama Tuhan berasal dari kesadaran rohani terdalam dan pengalaman konkret menyatu dengan Tuhan, mereka juga memiliki kebebasan untuk memberikan nama kepada Tuhan. Ya itulah subtansi “Allahu Akbar” yang bukan mengacu pada nama Tuhan yang di “langit”, namun lebih bergerak kebawah/ tanazzul, berorientasi pada sikap rohani manusia yang mampu merasakan kehadiran Tuhan secara nyata.
Sementara bagi orang yang masih awam dan hanya memiliki bekali fiqih untuk menghadap Allah, sunan kajenar dan sunan kalijaga dan sebagainya mengenalkan shalat tarek lima waktu, serta shalat saru raka’at salam, sebagai bekal untuk memasuki gerbang rohani menuju ma’rifatullah. Tentu saja bahwa bacaan shalatnya bersifat kombinasi antara arab dan jawa, yang bagi para sufi yang arif shalat dengan bahasa lokal, disamping beberapa bacaan yang wajib memakai arabnya, diperbolehkan, sebagaimana juga dipahami dalam monteks fiqih mazhab syafi’iyah dan malikiyah/ al-jazairi,t.t.:1, 221-226.

By jalantrabas

Jumat, 10 April 2009

MEMBUKA RAHASIA ILMU KASAMPURNAAN

MEMBUKA RAHASIA ILMU KASAMPURNAAN

Ketika selesai membangun pesantren, Raden Paku teringat salah satu bungkusan yg harus dibukanya. Ia ingat kata2 ayahnya kalau bingkisan itu berisi rahasia ilmu sejati yg harus dibacanya. Dengan hati2 dibukanya bungkusan tsb. Didalamnya ada beberapa lembar daun lontar bertuliskan huruf arab pegon. Segera dibacanya tulisan tsb.

A. Tentang Macam Ilmu Manusia.

Adalah suatu yg pasti terjadi anakku, ketahuilah ini, renungkan demi kasampurnaan ilmumu. Di dunia ini, entah kapan, sakit, dan mati pasti terjadi. Maka hendaklah waspada, tidak urung kita juga akan mati, jangan lupa pada sangkan paran dumadi. Untuk itu, di dunia ini hendaklah selalu prihatin. Agar benar2 sempurna engkau berilmu.

Dalam memperbincangkan ilmu kasempurnaan ini, jangan lupa arti bahasanya jika engkau mempertanyakannya. Karena mengetahui arti bahasa adalah kuncinya. Kesungguhanlah yg pasti, itulah yg perlu benar2 engkau mengerti. Jangan takut pd biaya. Bukan emas, bukan dirham, dan bukan pula harta benda. Namun hanya niat ikhlas saja yg diperlukan.

Adapun ilmu manusia itu ada 2, anakku. Yang pertama adalah ilmu kamanungsan yg lahir daru jalan indrawi dan melalui laku kamanungsan. Yang kedua adalah ilmu kasampurnaan yg lahir melalui pembelajaran langsung dari Sang Khalik. Untuk yg kedua ini, ia terjadi melalui 2 cara, yaitu dari luar dan dari dalam. Yang dari luar, dilalui dg cara belajar. Sedangkan yg dari dalam, dilalui dg cara menyibukan diri dg jalan bertapa ( bertafakur ).

Adapun bertafakur secara batin itu sepadan dg belajar secara lahir. Belajar memilki arti pengambilan manfaat oleh seorang murid dari gerak seorang guru. Sedangkan tafakur memilki makna batin, yaitu suksma seorang murid yg mengambil manfaat dari suksma sejati, ialah jiwa sejati.

Suksma sejati dalam olah ngelmu memilki pengaruh yg lebih kuat dibandingkan berbagai nasehat dari ahli ilmu dan ahli nalar. Ilmu2 seperti itu tersimpan kuat pada pangkal suksma, bagaikan benih yg tertanam dalam tanah, atau mutiara di dasar laut.

Ketahuilah anakku, kewajiban orang hidup tidak lain adalah selalu berusaha menjadikan daya potensial yg ada di dalam dirinya menjadi suatu bentuk aksi (perbuatan) yg bermanfaat. Sebagaimana engkau juga wajib mengubah daya potensial yg ada dalam dirimu menjadi perbuatan, melalui belajar. Sejatinya dalam belajar, suksma sang murid menyerupai dan berdekatan dg suksma sang guru. Sebagai yg memberi manfaat, guru laksana petani. Dan sbg yg meminta manfaat, murid ibarat bumi atau tanah.

Anakku ketahuilah, ilmu merupakan kekuatan seperti benih atau tepatnya seperti tumbuh2an. Apabila suksma sang murid sudah matang, ia akan menjadi seperti pohon yg berbuah, atau seperti mutiara yg sudah dikeluarkan dari dasar laut. Jika kekuatan badaniah mengalahkan jiwa, berarti murid masih harus terus menjalani laku prihatin dalam olah ngelmu dg menyelami kesulitan demi kesulitan dan kepenatan demi kepenatan, dalam rangka menggapai manfaat.

Jika Cahaya Rasa mengalahkan macam2 indra, berarti murid lebih membutuhkan sedikit tafakur ketimbang banyak belajar. Sebab suksma yg cair atau dalam bahasa arab dsb nafs al-qabil akan berhasil menggapai manfaat walau hanya dg berfikir sesaat, ketimbang proses belajar setahun yg dilakukan oleh suksma yg beku nafs al-jamid.

Jadi, engkau bisa meraih ilmu dg cara belajar, dan bisa juga mendapatkannya dg cara bertafakur. Walaupun sebenarnya dalam belajar itu juga memerlukan proses tafakur. Dan dg tafakur engkau tahu manusia hanya bisa mempelajari sebagian saja dari seluruh ilmu dan tidak bisa semuanya.

Banyak ilmu2 mendasar atau yg dsb annazhariyyah dan penemuan2 baru, berhasil dikuak oleh orang2 yg memilki kearifan. Dg kejernihan otak, kekuatan daya fikir dan ketajaman batin, mereka berhasil menguak hal2 tsb tanpa proses belajar dan usaha pencapaian ilmu yg berlebihan.

Dg bertafakur, manusia berhasil menguak ajaran sangkan paraning dumadi . Dg begitu terbukalah asumsi dasar dari keilmuan sehingga persoalan tidak berlarut2 dan segera tersingkap kebodohan yg menyelimuti kalbu.

Seperti telah kuberitahukan sebelumnya anakku, suksma tidak bisa mempelajari semua yg di inginka, baik yg bersifat sebagian ( juz’i / parsial ) maupun yg menyeluruh ( kulli / universal ) dg cara belajar. Ia harus mempelajari dg induksi, sebagian dg deduksi sebagaimana umumnya manusia dan sebagian lagi dg analogi yg membutuhkan kejernihan berfikir. Berdasarkan hal ini, ahli ilmu terus membentangkan kaidah2 keilmuan.

Ketahuilah anakku.
Seorang ahli ilmu tidak bisa mempelajari apa yg dibutuhkan seluruh hidupnya. Ia hanya bisa mempelajari keilmuan umum dan beragam bentuk yg merupakan turunannya dan hal itu menjadi dasar untuk melakukan qiyas terhadap berbagi persoalan lainnya. Begitu pula para tabib, tidaklah bisa mempelajari seluruh unsur obat2an untuk orang lain. Meraka hanya mempelajari gejala2 umum. Dan setiap orang diobati menurut sifat masing2 Demikian juga para ahli perbintangan, mereka mempelajari hal2 umum yg berkaitan dg bintang, kemudian berfikir dan memutuskan berbagai hukum.
Demikian juga halnya seorang ahli fikih dan pujangga. Begitu seterusnya, imajinasi dan karsa yg indah2 berjalan. Yang satu menggunakan tafakur sbg alat pukul, semacam lidi, sedangkan yg lain menggunakan alat bantu lain untuk merealisasikan.

Anakku jika pintu suksma terbuka, ia akan tahu bagaimana cara bertafakur dg benar dan selanjutnya ia bisa memahami bagaimana merealisasikan apa yg diinginkan. Karena itu hati pun menjadi lapang, pikiran jadi terbuka dan daya potensial yg ada dalam diri akan lahir menjadi aksi (perbuatan) yg berkelanjutan dan tak mengenal lelah.

B. Memahami Ilmu Kasampurnaan.

Ketahuilah anakku bahwa ilmu kasampurnaan itu ada 2 macam,

Pertama, diberikan melalui wahyu.

Apabila suksma manusia telah sempurna, niscaya akan sirna segala sesuatu yg dapat mengotori watak, seperti halnya sikap rakus dan impian semu. Suksma akan menghadap Sang Pencipta, merengkuh cintaNya dan berharap manfaat serta limpahan cahayaNya.

Allah akan menyambut suksma itu secara total. Tatapan Ketuhan memandanginya dan menjadikannya seperti papan. kemudian Allah akan menjadikan pena dari suskma sejati. Dan pena itu diukirkan ilmu pada papan tadi.

Suksma sejati laksana guru, suksma manusia suci ibarat sang murid. Sehingga dicapailah seluruh ilmu, dan padanya semua bentuk terukir tanpa proses belajar maupun berfikir. Dalilnya : “Dan Dialah yg mengajarkanmu apa2 yg tidak kamu ketahui” (QS. An-Nisa:213).

Ilmu para nabi lebih tinggi derajatnya dibandingkan ilmu mahluk2 yg lain. Karena ilmu tsb diperoleh langsung dari YME tanpa perantara. Kau bisa memahami dalam kisah para malaikat dg kanjeng Nabi Adam. Sepanjang usianya para malaikat terus belajar. Dan dg berbagi cara mereka berhasil mendapatkan banyak macam ilmu, sehingga mereka menjadi mahluk yg paling berilmu dan mahluk paling berpengetahuan.

Sementara itu Adam tidaklah tergolong ahli ngelmu karena ia tidak pernah belajar dan berjumpa dg seorang guru. Malaikat bangga dan dg besar hati mereka berkata:” padahal kami Senantisa bertasbih dg memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” (QS. Al-Baqarah:30).

Kanjeng Nabi Adam kembali menuju Sang Pencipta. Lantas beberapa bagian dalam hati Kanjeng Nabi oleh Allah dikeluarkan ketika ia menghadap dan memohon pertolongan kepada Tuhan. Lalu Allah ajarkan seluruh nama2 benda. “Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat, lantas Allah berfirman: “Sebutkanlah kepadaku nama benda2 itu jika kamu memang orang2 yg benar” (QS. Al-Baqarah:31).

Ketahuilah, malaikat menjadi kerdil dihadapan Adam. Ilmu mereka menjadi terlihat sempit. Mereka tak bisa berbangga dab besar hati, justru yg ada hanya rasa tak berdaya. “Maha Suci Engkau, tidak ada yg kami ketahui selain dari apa yg Engkau ajarkan kpd kami” (QS. Al-Baqarah:32).

Maka kepada mereka Adam diberitahukan bbrp bagian ilmu dan hal2 yg masih tersembunyi. Akhirnya jelaslah bagi kaum berakal, bahwa ilmu gaib yg bersumber dari wahyu lebih kuat dan lebih sempurna dibandingkan ilmu yg diperoleh dg penglihatan langsung.

Ilmu yg diperoleh melalui wahyu merupakan warisan dari hak para nabi. Namun mulai masa Kanjeng Nabi Muhammad pintu wahyu telah ditutup oleh Allah. Sebab Muhammad adalah penutup para nabi. Dia mewakili sosok paling berilmu dan paling fasih dikalangan manusia. Allah telah mendidiknya dg budi pekertinya menjadi baik.

Ketahuilah anakku, Ilmu Rasul itu lebih sempurna, lebih mulia, dan kuat. Karena ilmu tsb diperoleh langsung dari Sang Khalik. Beliau sama sekali tidak pernah menjalankan proses belajar-mengajar insani.

Ilmu Kasampurnaan yg Kedua,

disampaikan sebagai ilham yaitu peringatan suksma sejati terhadap suksma manusia berdasarkan kadar kejernihan, penerimaan dan daya kesiapannya. Ilham boleh dikatakan mengiringi wahyu. Kalau wahyu merupakan penegasan perkara gaib, maka ilham merupakan penjelasannya. Ilmu yg diperoleh dg wahyu itulah sejatinya ilmu kenabian, sedangkan yg diperoleh dg ilham itulah sejatinya ilmu kewalian.

Ilmu kewalian diperoleh secara langsung, tanpa perantara antara suksma dan Sang Pencipta. Ilmu Kasampurnaan itu laksana secercah cahaya dari alam gaib, yang datang menerpa hati yg jernih, hampa dan lembut.

Semua ilmu merupakan produk pengetahuan yg diperoleh dari suksma sejati yg terdapat dalam inti sangkan paraning dumadi
dg menisbatkan pada RASA SEJATI, seperti penisbatan Siti Hawa kepada Kanjeng Nabi Adam.

Ketahuilah anakku, rasa sejati lebih mulia, lebih sempurna dan lebih kuat dari disisi Allah dibandingkan suksma sejati. Sedangkan suksma sejati lebih terhormat, lebih lembut dan lebih mulia dibandingkan mahluk2 lain.

Adapun ilham itu terlahir dari melimpahnya rasa sejati dan juga terlahir dari melimpahnya pancaran sinar suksma sejati. Jika wahyu menjadi perhiasan para nabi, maka ilham menjadi perhiasan para wali. Adapun ilmu yg diperoleh dari wahyu adalah sebagaimana suksma tanpa rasa atau wali tanpa nabi. Begitu pula ilham tanpa wahyu akan menjadi lemah. Ilmu akan menjadi kuat jika dinisbatkan kepada wahyu yg bersandar pada penglihatan ruhani. Itulah ilmu para nabi dan wali

Ketahuilah, ilmu yg diperoleh dg wahyu hanya khusus bagi para rasul, seperti diberikan kepada Adam, Musa, Ibrahim, Isa, Muhammad saw dan para rasul lain. Itulah yg menbedakan antara risalah dg nubuwwah .
Adapun nubuwwah adalah perolehan hakikat dari ilmu dan rasionalitas2 oleh suksma yg suci kepada orang2 yg mengambil manfaat. Barangkali perolehan semacam itu didapat salah satu suksma, tetapi ia tidak berkewajiban menyebarkannya karena suatu alasan dan oleh sebab2 tertentu.

Ilmu kasampurnaan menjadi milik seorang nabi dan wali, sebagaimana dimilki Khidir a.s. Hal itu terdapat pd dalil: “Dan yg telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS. Al-Kahfi:65).

Ingatlah ketika khalifah Ali berujar: “Kumasukan lisanku kemulutku, hingga terbukalah dihatiku seribu pintu ilmu, yg pada setiap pintu terdapat seribu pintu yg lain”. Dan ia berkata: “Andai kuletakkan bantal dan aku duduk diatasnya, niscaya aku akan mengambil putusan hukum bagi penganut Taurat berdasarkan Taurat mereka, bagi penganut Injil berdasarkan Injil mereka, dan bagi penganut al-Quran berdasarkan al-Quran mereka”.

Derajat seperti ini tidak bisa diterima dg melalui ilmu kemanungsa semata yg hanya dari pembelajaran insani. Pastilah seseorang yg telah mencapai derajat tsb telah dikarunia ilmu kasampurnaan.

Jika Allah menghendaki kebaikan pada dirimu, Dia akan menyingkap tabir atau hijab yg menhalangi dirimu dg suksma yg menjadi papan itu. Dg demikian, sebagian rahasia dari apa2 yg tersembunyi akan ditampakan pdmu. segenap makna yg terkandung didalam rahasia tsb akan terpahat pd suksmamu. Dan suksma itupun mengungkapkan sebagaimana engkau ingin karena dikehendakiNya..

Sejatinya, kearifan bisa lahir dari ilmu kasampurnaan. Selama engkau belum mencapai derajat atau tingkatan ini, engkau tidak akan menjadi seorang arif.
Karena kearifan merupakan pemberian Hyang Widi.
Dalilnya : ” Allah menganugrahkan al-hikmah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar2 telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang2 yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran ” (QS. Al-Baqarah:269).

Hal itu karena orang2 yg berhasil mencapai ilmu kasampurnaan tidak perlu lagi banyak berusaha memahami ilmu secara induktif dan berpayah-payah belajar. Orang yg demikian sedikit belajar, banyak mengajar, sedikit capai, banyak istirahat.

Ketahuilah anakku, setelah wahyu terputus dan sesudah pintu risalah ditutup, umat manusia tidak lagi membutuhkan kehadiran rasul atau utusan. Mereka tidak lagi memerlukan penampakan dakwah setelah penyempurnaan agama. Bukanlah termasuk kearifan menampakan nilai lebih tidak berdasarkan kebutuhan.

Tapi ketahuilah anakku, pintu ilham itu tidak pernah ditutup. Pancaran cahaya suksma sejati tidak pernah terputus. Karena suksma terus membutuhkan arahan, pembaharuan dan peringatan. Umat manusia tidak memerlukan risalah dan dakwah, tetapi masih membutuhkan peringatan sebagai akibat dari tenggelamnya mereka pada rasa was-was dan terhanyut oleh gelombang syahwat.

Karena itu Allah menutup pintu wahyu sebagai pertanda bagi hamba-Nya dan membuka pintu ilham sebagai rahmat serta menyiapkan segala sesuatu menyusun tingkatan2 supaya mereka tahu bahwa Allah Maha Lembut kepada hamba2-Nya, memberikan rezeki kepada siapa saja yg dikendaki tanpa perhitungan. Selesai sudah nasehatku tentang kawruh kesejatian yg kubeberkan padamu. Hendaklah engkau bisa menggunakan sebaik mungkin.

Dengan sikap takzim, Raden Paku ( Sunan Giri ) menerawang ke depan membayangkan wajah ayahandanya mengucapkan sendiri kata2 yg barusan dibacanya. Digengamnya erat2 lembaran lontar itu, lalu didekapkan didada serasa hendak menggoreskan makna dalam hatinya. Suatu makna dari nasehat orang suci yg tak lain adalah ayahandanya sendiri Syeh Wali Lanang / Syeh Awallul Islam ( Maulana Ishak ), lelaki suci keturunan manusia utama.

By: Alang-alang Kumitir

Kamis, 09 April 2009

Ibnu Arabi

IBNU ARABI: ASY SYEKH AL-AKBAR

Bagi pendosa yang jahat, aku mungkin terlihat jahat. Tetapi bagi yang baik — betapa luhurnya aku.

(Mirza Khan, Anshari)

Salah satu pengaruh metafisis paling mendalam terhadap dunia Muslim maupun Kristen adalah ajaran Ibnu Arabi as-Sufi, dalam bahasa Arab disebut asy-Syekh al-Akbar (Mahaguru). Ia keturunan Hatim ath-Tha’i, yang masih termasyhur di kalangan bangsa Arab sebagai laki-laki paling dermawan yang pernah dikenal dan dalam Ruba’iyat versi FitzGerald disebutkan, “Ijinkan Hatim ath-Tha’i berseru: Pesta! “Jangan hiraukan dia!” (maksudnya karena terlalu seringnya menjamu orang-orang lain).

Spanyol telah menjadi negeri Arab selama lebih dari empat abad ketika Ibnu Arabi (dari) Murcia dilahirkan pada 1164. Diantara nama-namanya adalah al-Andalusi, dan tidak diragukan dia lah salah satu tokoh terbesar dari beberapa tokoh besar Spanyol yang pernah hidup. Secara umum diyakini bahwa tidak ada puisi cinta yang lebih besar dari karyanya; dan tidak ada seorang Sufi yang begitu mendalam menarik perhatian para teolog ortodoks dengan makna batin dari kehidupan dan karyanya.

Latar belakang Sufinya, menurut para ahli biografi, adalah bahwa ayahnya pernah berhubungan dengan Abdul Qadir al-Jilani yang agung, Sulthanul-Ikhwan (1077-1166). Ibnu Arabi sendiri disebutkan terlahir sebagai akibat pengaruh spiritual Abdul Qadir, yang meramalkan bahwa ia akan menjadi seorang dengan anugerah yang sangat luar biasa.

Ayahnya memastikan untuk memberikan pendidikan terbaik yang mungkin baginya, sesuatu yang diberikan bangsa Moor Spanyol pada waktu itu, hingga pada suatu tingkatan yang tidak tertandingi di mana saja. Ia pergi ke Lisabon, di mana ia belajar Fiqih dan Kalam. Berikutnya, ketika masih anak-anak, ia pergi ke Sevilla, di mana ia belajar al-Qur’an serta Hadis di bawah bimbingan para ulama terbesar pada masanya. Di Cordoba ia menghadiri kuliah-kuliah dari Syekh asy-Syarrat al-Kabir, dan mengkhususkan dirinya dalam jurisprudensi.

Selama periode ini, Ibnu Arabi memperlihatkan kualitas-kualitas intelek jauh melebihi mereka yang sezamannya, meskipun mereka berasal dari elite skolastik dimana dalam keluarga-keluarga semacam ini kapasitas intelektual sangatlah masyhur pada zaman pertengahan. Selama masa remajanya, di luar disiplin ketat pada sekolah-sekolah akademik tersebut, ia habiskan semua waktu dengan para Sufi, dan mulai menulis puisi.

Ia tinggal di Sevilla selama tiga dekade, puisi dan kefasihan bahasanya menempatkannya pada posisi puncak di atmosfir Spanyol yang berperadaban tinggi, begitu juga di Maroko, yang juga merupakan pusat kehidupan kebudayaan.

Dalam beberapa hal Ibnu Arabi menyerupai al-Ghazali (1058-1111). Seperti al-Ghazali, ia berasal dari sebuah keluarga Sufi, dan berpengaruh terhadap dunia Barat. Juga seperti al-Ghazali, ia sangat menguasai ajaran (ortodoks) Islam. Tetapi jika al-Ghazali pertama kali menguasai skolastisisme Islam, kemudian setelah merasa tidak cukup, ia berpaling ke Sufisme pada puncak kebesarannya; sementara Ibnu Arabi, melalui hubungan dan puisi, mempertahankan suatu hubungan berkelanjutan dengan arus Sufistik. Al-Ghazali mendamaikan Sufisme dengan Islam, menjadikan orang-orang skolastik memahami bahwa Sufisme bukan suatu bid’ah, tetapi suatu makna batin agama. Misi Ibnu Arabi adalah untuk menciptakan kesusastraan Sufi dan menyebabkannya dipelajari, hal mana masyarakat mungkin bisa memasuki semangat Sufisme — menemukan para Sufi melalui keberadaan dan ungkapannya, apa pun latar belakang budayanya.

Bagaimana proses ini bekerja, dicontohkan dalam sebuah ulasan Profesor R.A. Nicholson yang terkenal itu, yang menterjemahkan karya Ibnu Arabi, Tarjuman al-Asywaq (Penterjemah Kerinduan):

Adalah benar bahwa sebagian puisi itu tidak bisa dibedakan dari kidung cinta biasa, dan ketika melihat sebagian besar dari teks itu, sikap dari orang-orang sezaman dengan penulisnya, yang menolak untuk mempercayai bahwa karya ini memiliki suatu pandangan esoterik, adalah wajar dan bisa dipahami. Di sisi lain ada banyak bagian yang sepenuhnya bersifat mistis dan memberikan kunci pemahaman untuk bagian lainnya. Jika orang-orang yang skeptis kurang memiliki kemampuan membedakan, mereka layak memperoleh rasa terima kasih kita karena mendorong Ibnu Arabi untuk mengajari mereka. Tentu saja tanpa bimbingannya, semua pembaca yang simpatik sulit menemukan makna tersembunyi dimana kemurnian dan keindahannya yang fantastik berasal dari sebuah lagu (qasidah) Arab.1

Banyak sekali peninggalan tulisan-tulisan Ibnu Arabi yang sampai saat ini dikaji sekaligus diperdebatkan, dibanding para Sufi lainnya.

Sebagian tulisan Ibnu Arabi ditujukan kepada mereka yang telah memahami mitologi kuno dan disusun dengan istilah-istilah tersebut. Sebagian yang berhubungan dengan dunia Kristen berperan sebagai pembuka jalan bagi orang-orang yang mempunyai komitmen kepada Kristen. Puisi lainnya berperan memperkenalkan jalan Sufi melalui wahana puisi cinta. Tidak seorang pun bisa menjelaskan semua karyanya hanya melalui makna skolastik, keagamaan, romantik dan perlengkapan intelektual. Hal ini membawa kita pada isyarat lain dari misinya yang terkandung dalam namanya.

Menurut tradisi Sufi, misi Ibnu Arabi adalah “menyebarkan” (bahasa Arabnya adalah nasyr, NSYR) ajaran Sufi melalui pandangan kontemporer dan berhubungan dengan berbagai tradisi hidup dalam masyarakat. Pandangan tentang penyebaran ini tentu saja absah dan sesuai dengan pemikiran Sufi. Karena istilah Sufi untuk kata penyebaran (NSYR) pada waktu itu tidak dipergunakan secara umum, Ibnu Arabi menggunakan sebuah alternatif. Di Spanyol ia dikenal sebagai Ibnu Saraqa, “anak gergaji”. Akan tetapi Saraqa dengan akar kata SRQ merupakan kata lain dari gergaji yang diambil dari akar kata NSYR. Akar kata NSYR jika diubah secara normal bermakna “penerbitan, penyebaran”, dan juga bermakna “menggergaji”. Kata ini juga bermakna menghidupkan. Nama pribadi Ibnu Arabi, Muhyiddin, diterjemahkan dengan “Yang Menghidupkan Agama.”2

Dengan mengambil akar kata NSYR secara literal, seperti hampir semua sarjana melakukannya, bahkan menyebabkan seorang sejarawan yang terhormat semacam Ibnu al-Abbar menyimpulkan bahwa ayahnya adalah seorang tukang kayu. Ia hanya bisa dikatakan sebagai “tukang kayu” dalam pengertian kedua sebagaimana dikenal oleh para Sufi yang menggunakan istilah untuk pertemuan mereka, dalam menjelaskan jamaah mereka di suatu tempat bagi sejumlah orang yang tidak ingin terlihat sebagai kelompok penentang.

Sebagian pernyataan Ibnu Arabi yang diambil dari karya-karyanya sendiri sangat mengejutkan. Dalam kitab Fushushul-Hikam, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah dilihat dalam suatu bentuk material. “Pandangan tentang Tuhan dalam perempuan adalah pandangan paling sempurna”. Bagi Sufi, puisi cinta sebagaimana puisi lainnya, mampu memantulkan suatu pengalaman ketuhanan yang utuh dan koheren seraya memenuhi fungsi-fungsi lainnya. Setiap pengalaman Sufi merupakan suatu pengalaman mendalam dan mengandung ketidakterbatasan kualitatif. Bagi orang awam, satu kata hanya memiliki satu makna, atau satu pengalaman tidak memiliki sejumlah arti penting yang sama-sama valid. Keberagaman wujud merupakan sesuatu yang, meskipun ditolak oleh kalangan non-Sufi, seringkali dilupakan oleh mereka ketika membahas materi Sufi. Paling jauh mereka biasanya hanya dapat memahami bahwa ada sebuah alegori bagi mereka hanya memiliki satu makna.

Kepada para teolog yang membatasi diri pada formalisme ketuhanan, Ibnu Arabi secara terang-terangan mengatakan bahwa, “Malaikat sebenarnya merupakan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam fakultas-fakultas dan organ-organ manusia.” Tujuan Sufi adalah menghidupkan organ-organ ini.

Tanpa mempertimbangkan perbedaan antara formulasi dan pengalaman, Dante3 mengambil alih karya sastra Ibnu Arabi dan mengkristalkannya dalam suatu kerangka kerja yang mungkin sedang berlaku. Untuk melakukan hal itu, ia telah mencuri pesan Ibnu Arabi dari validitas Sufinya dan benar-benar mengabaikan Profesor Asin dengan suatu contoh abadi dari apa yang oleh pikiran modern hampir berpuncak pada perampasan gagasan. Sebaliknya, Raymond Lully mengambil alih bahan kesusastraan Ibnu Arabi, namun disamping itu menekankan arti penting latihan-latihan Sufi yang diperlukan untuk menyempumakan pengalaman Sufistik.

Ibnu Arabi yang belajar di bawah bimbingan perempuan Sufi Spanyol, Fatimah binti Waliyya, tidak diragukan bahwa ia cenderung pada keadaan-keadaan fisik tertentu; yang hal ini juga digunakan oleh para Sufi. Ia merujuk hal ini di berbagai kesempatan. Sebagian karyanya ditulis dalam keadaan “mabuk” (trance), dan maknanya tidak jelas baginya sampai setelah beberapa saat penulisannya. Ketika berumur tiga puluh tujuh tahun, ia mengunjungi Ceuta, di mana ia memperbaharui madzhab Ibnu Sabain (penasehat Kaisar Roma, Frederick). Di sana ia mengalami mimpi aneh yang ditakwilkan oleh seorang ulama masyhur. Orang alim itu mengatakan, “Tidak bisa diukur … jika orang itu ada di Ceuta, ia tidak lain adalah anak muda Spanyol yang baru datang.”

Sumber inspirasinya adalah mimpi dimana kesadarannya masih aktif Dengan melatih fakultas Sufi ini, ia mampu menghasilkan suatu hubungan dengan realitas terakhir (supermatif) dari akal batinnya — realitas yang dijelaskannya mendasari penampakan dunia biasa.

Ajarannya menekankan arti penting pelatihan fakultas-fakultas ini yang tidak diketahui oleh semua orang dan oleh banyak orang telah diserahkan pada okultisme yang konyol. “Seseorang,” tuturnya, “harus mengendalikan pikiran-pikirannya dalam mimpi. Dengan melatih kesigapan ini, ia akan menghasilkan kesadaran tentang dimensi perantara. Kesadaran ini akan mendatangkan manfaat besar bagi individu itu. Setiap orang seharusnya melatih diri untuk mencapai kemampuan yang sangat besar nilainya itu.”4

Tidak akan ada gunanya untuk mencoba menafsirkan Ibnu Arabi dari satu pandangan yang pasti. Ajaran-ajarannya diambil dari pengalaman-pengalaman batin, kemudian disajikan dalam suatu bentuk yang mempunyai suatu fungsi. Jika puisinya mempunyai makna ganda dan sering demikian, ia bukan saja bertujuan menyampaikan kedua makna itu, tetapi juga menegaskan bahwa keduanya adalah valid. Jika puisi ini dinyatakan dalam istilah-istilah yang digunakan oleh orang-orang sebelumnya, hal ini tidak dimaksudkan harus dipahami sebagai bukti pengaruh luar. Apa yang diperbuatnya dalam hal ini adalah ditujukan kepada dirinya sendiri untuk orang-orang dalam istilah yang membentuk sebagian latar belakang budaya mereka sendiri. Ada puisi-puisi Ibnu Arabi yang bisa dibaca dalam pengertian yang berubah-ubah — maknanya bermula dalam suatu tema dan kemudian berubah ke tema lainnya. Ia melakukan hal ini secara sengaja, dengan tujuan untuk mencegah proses asosiasi otomatis yang akan membawa pembaca ke dalam kenikmatan biasa, sebab Ibnu Arabi adalah seorang guru, bukan seorang penghibur.

Bagi Ibnu Arabi, sebagaimana bagi semua Sufi, Muhammad mewakili Insan Kamil. Pada saat yang sama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud “Muhammad” dalam konteks ini. Dalam persoalan ini Ibnu Arabi lebih tegas dibandingkan persoalan lainnya. Ada dua versi maksud kata Muhammad — sosok manusia yang hidup di Mekkah dan Madinah serta Muhammad yang hidup abadi. Muhammad yang terakhir inilah yang dibicarakannya. Muhammad dalam pengertian kedua ini diidentifikasikan dengan semua Nabi, termasuk Yesus. Gagasan ini menyebabkan klaim di kalangan Kristen bahwa Ibnu Arabi atau para Sufi atau keduanya adalah orang-orang Kristen rahasia. Klaim Sufi adalah bahwa individu-individu yang telah melaksanakan fungsi-fungsi tertentu pada dasarnya adalah satu. Kesatuan ini mereka sebut dengan asal-usulnya sebagai Haqiqatul-Muhammadiyyah.

Dalam karyanya yang menjadi rujukan utama Sufi, Insan Kamil, al-Jili menjelaskan inkarnasi Hakikat (Muhammadiyah) ini kepada semua orang. Ia berusaha menggambarkan faktor esensial ini dengan memperlihatkan keberagaman dari apa yang kita sebut seorang individu. Sebagai contoh, Muhammad artinya “Yang Terpuji”. Nama lainnya, sebagai suatu pemaparan dari suatu fungsi, adalah Ayah al-Qasim. Dan namanya, yaitu Abdullah, ia berfungsi sesuai dengan makna literalnya — Hamba Allah. Nama-nama adalah kualitas-kualitas atau fungsi-fungsi. Inkarnasi adalah satu faktor sekunder: “Ia diberi nama-nama dan di setiap masa memiliki satu nama yang sesuai dengan wujud yang ada pada masa itu. Ketika ia dilihat sebagai Muhammad, ia adalah Muhammad, namun ketika dilihat dalam bentuk lain, maka ia disebut dengan nama bentuk itu sendiri.”

Ini bukan suatu teori reinkarnasi, meskipun teori ini sangat mirip. Realitas esensial yang menghidupkan manusia dengan sosok Muhammad atau lainnya ini harus diberi nama sesuai dengan lingkungannya. Mereka yang menggunakan sikap ini dengan doktrin Logos dari Plotinus, menurut para Sufi, berarti menisbatkan suatu hubungan historis pada suatu situasi yang mempunyai realitas obyektif para Sufi tidak meniru doktrin Logos, meskipun ide tentang Logos dan Hakikat Muhammadiyah mempunyai sumber yang sama. Pada akhirnya, sumber informasi Sufi dalam persoalan ini adalah pengalaman pribadi Sufi, bukan formulasi kepustakaan sebagai salah satu manifestasi historisnya. Perangkap pemikiran historis, yang beranggapan bahwa tidak ada sumber batiniah pengetahuan yang mendasar dan harus mencari inspirasi kepustakaan dan superfisial, tetap dihindari oleh para Sufi. Beberapa mahasiswa Barat yang mengkaji Sufisme, hal ini harus diakui, telah menekankan kemiripan lahiriah, sementara terminologi atau waktu tidak membuktikan penyampaian gagasan esensial itu.

Ibnu Arabi telah membingungkan para sarjana, sebab ia adalah orang yang dalam Islam disebut sebagai seorang konformis dalam agama, sementara ia tetap seorang esoteris. Seperti semua Sufi, ia mengklaim bahwa ada suatu kemajuan koheren, sinambung dan sepenuhnya bisa diterima oleh setiap agama formal, dan pemahaman batin dari agama itu yang akan membawa pada pencerahan pribadi. Biasanya doktrin ini tidak bisa diterima oleh para teolog (mutakallimun) dengan kepentingannya yang bergantung pada banyak atau tidaknya fakta-fakta statis, bahan sejarah dan kekuatan penalaran.

Meskipun Ibnu Arabi dicintai oleh semua Sufi, mempunyai banyak pengikut pribadi dan menjalankan fungsi teladan kehidupan, tidak diragukan ia merupakan suatu ancaman bagi kalangan formalis. Seperti al-Ghazali, kekuatan intelektualnya lebih unggul dari semua orang sezamannya yang lebih konvensional (di bidang pemikiran). Alih-alih menggunakan berbagai kemampuan ini untuk mengukir satu tempat dalam skolastisisme, ia menyatakan — seperti banyak Sufi lainnya — bahwa jika seseorang memiliki intelek yang kuat, fungsi terakhirnya adalah memperlihatkan bahwa intelektualitas hanyalah suatu sarana pengantar kepada sesuatu yang lain. Sikap ini bukan suatu kesombongan — apalagi kalau kita benar-benar bertemu dengan orang semacam ini dan mengetahui kerendahan hatinya.

Banyak orang bersimpati kepadanya, tetapi tidak berani mendukungnya, sebab mereka bekerja pada tataran formal, sementara ia bekerja pada tataran rahasia. Seorang alim yang terhormat menurut riwayat mengatakan, “Aku sama sekali tidak meragukan bahwa Muhyiddin (Ibnu Arabi) adalah seorang pembohong besar. Ia adalah pemuka kalangan ahli bid’ah dan seorang Sufi yang tidak tahu malu.” Akan tetapi seorang teolog besar, Kamaluddin Zamlaqani menegaskan, “Betapa bodohnya mereka yang menentang Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi! Pernyataannya yang sublim dan tulisannya yang bernilai itu terlalu tinggi bagi pemahaman mereka.”

Dalam sebuah kesempatan yang masyhur, guru pembaharu Syekh Izuddin ibnu Abdussalam sedang memimpin sekelompok murid mempelajari fiqih. Selama berlangsung suatu diskusi, pertanyaan tentang definisi bid’ah muncul. Seorang murid menyebut Ibnu Arabi sebagai contoh utama. Sang guru tidak menyanggah penegasan ini. Kemudian ketika makan malam dengan guru ini, Salahuddin yang pada masa selanjutnya menjadi Syekh al-Islam, bertanya kepadanya, siapakah alim paling terkemuka pada masanya:

“Ia menjawab, ‘Menurut Anda siapa? Teruslah makan.’ Aku menyadari bahwa ia tahu. Aku berhenti makan dan menekannya untuk menjawab pertanyaanku dengan menyebut nama Allah. Ia tersenyum dan berkata, ‘Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi.’ Untuk sesaat aku terkejut sehingga tidak bisa berkata-kata. Syekh itu bertanya kepadaku tentang keadaanku saat itu. Kujawab, ‘Aku heran, sebab pada pagi ini seseorang mengatakan bahwa ia adalah ahli bid’ah. Pada saat itu, Anda justru tidak menyanggahnya. Sekarang Anda menyebut Muhyiddin sebagai Wali al-Quthb di Zaman Ini, manusia teragung yang pernah hidup, guru dunia’.”

“Ia mengatakan, ‘Kala itu aku berada di tengah-tengah pertemuan para ulama, para fuqaha’.”

Penentangan utama terhadap Ibnu Arabi disebabkan koleksi karya puisinya yang sangat mengagumkan dan mengejutkan — puisi Cinta yang dikenal sebagai Penterjemah Kerinduan (Tarjuman al-Asywaq). Puisi ini sangat sublim, mengandung begitu banyak kemungkinan makna dan penuh dengan khayalan fantastik, sehingga ia bisa menimbulkan pengaruh magis bagi pembacanya. Bagi para Sufi, karya ini dipandang sebagai produk perkembangan paling jauh dari kesadaran kemanusiaan. Mungkin akan adil bila ditambahkan bahwa D.B. MacDonald memandang luapan rasa Ibnu Arabi itu sebagai “suatu paduan aneh antara teosofi dan paradoks-paradoks metafisik. Semuanya lebih menyerupai teosofi pada masa kita sekarang.”

Bagi para sarjana, salah satu hal penting dalam kitab Tarjuman al-Asywaq adalah masih adanya komentar tentang puisi-puisi itu yang dibuat oleh penulisnya sendiri; di dalamnya ia menjelaskan bagaimana metafora disesuaikan dengan agama Islam ortodoks. Hal ini hanya bisa dikaji dengan menghadapkan latar belakang sejarah kitab tersebut.

Pada tahun 1202, Ibnu Arabi memutuskan untuk pergi Haji. Setelah menghabiskan beberapa waktu perjalanannya melalui Afrika Utara, tibalah ia di Mekkah. Di sana bertemu dengan sekelompok imigran Persia, para mistikus (Sufi?) yang menyambut dan menerimanya memasuki kelompok tersebut, meskipun ia dituduh melakukan bid’ah dan keburukan di Mesir. Ia nyaris terbunuh pada percobaan pembunuhan oleh seorang fanatik.

Ketua komunitas Persia itu bernama Mukinuddin. Ia memiliki seorang putri yang cantik, Nizam, salehah dan menguasai fiqih. Berbagai pengalaman spiritualnya di Mekkah dan pernyataan simbolisnya tentang jalan mistik, diungkapkan dalam puisi-puisi cinta yang dipersembahkan kepada Nizam. Ibnu Arabi menyadari bahwa kecantikan manusia berkaitan dengan realitas ketuhanan. Karena itulah ia mampu menghasilkan puisi-puisi yang mengagumi kesempurnaan gadis itu dan juga sekaligus, dalam perspektif yang benar, menggambarkan suatu realitas yang lebih dalam. Tetapi kemampuan untuk melihat hubungan itu ditolak oleh para agamawan formal yang memandangnya sebagai skandal.

Para pendukung Ibnu Arabi memperlihatkan, seringkali dengan rahasia, bahwa kebenaran sejati mungkin dinyatakan dengan berbagai cara sekaligus. Mereka merujuk pada cara Ibnu Arabi dalam mengangkat mitos dan legenda maupun sejarah tradisional, untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran esoteris yang tersembunyi di dalamnya, demikian pula nilai kesenangannya. Konsep keberagaman makna dari suatu faktor dan yang sama ini kurang dipahami pada masanya maupun saat ini. Pemahaman terdekat dari orang awam yang bisa diperoleh dari hal ini adalah pengakuan bahwa “seorang cantik adalah karya seni Ilahi”. Ia tidak mampu memahami perempuan cantik dan ketuhanan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini adalah problema umum dari pernyataan Sufi dalam suatu pilihan kata-kata yang sangat terbatas.

Oleh karena itu, kitab Tarjuman al-Asywaq karya Ibnu Arabi itu terkesan sebagai sebuah kumpulan puisi erotik. Ketika ia pergi ke Aleppo di Syria, sebuah pusat ortodoksi keagamaan, ia mendapati bahwa para ulama (ortodoks) Islam yang mengatakannya sebagai pembohong semata, berupaya membenarkan puisi erotiknya dengan mengklaim suatu makna yang lebih dalam. Tiba-tiba ia mulai membuat sebuah komentar untuk membawa karya tersebut ke dalam pandangan ortodoks. Hasilnya para ulama itu benar-benar merasa puas, sebab penulisnya telah berperan dalam mendukung penafsiran mereka sendiri tentang hukum keagamaan dengan menjelaskan makna-makna dalam karyanya itu. Meskipun demikian, bagi Sufi, ada makna ketiga dalam kitab itu. Dengan menggunakan terminologi yang lazim, Ibnu Arabi sedang memperlihatkan kepada mereka bahwa berbagai superfisialitas itu bisa jadi benar, bahwa cinta manusia bisa jadi sepenuhnya absah; namun aktualitas kedua hal ini telah menutupi suatu kebenaran batin, atau perluasan maknanya.

Realitas batin inilah yang dirujuknya ketika ia menerima semua formalisme, meski demikian menyatakan suatu kebenaran di balik dan di luarnya. Profesor Nicholson telah menterjemahkan salah satu puisi yang paling mengejutkan kalangan agamawan yang saleh dan meyakini bahwa kepercayaan mereka merupakan jalan bagi penyelamatan manusia:

Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk:

Sebuah biara bagi pendeta, dupa untuk berhala,

Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa.

Aku lah Ka’bah bagi orang-orang yang shalat,

Lembaran-lembaran Taurat dan al-Qur’an.

Cinta adalah agama yang kupegang: ke mana pun.

Kendaraan dalam melangkah, Cinta tetap agama dan keyakinanku.

Orang yang berpikiran romantis mungkin memahaminya dengan makna yang biasa dikenal, jenis cinta kuantitatif yang secara otomatis oleh pikirannya dikaitkan dengan kata-kata, “Itulah yang dimaksud Ibnu Arabi.” Bagi Sufi yang biasa menggunakan tema “cinta”, Sufisme hanyalah satu bagian, terbatas, dimana di baliknya, di bawah keadaan-keadaan biasa, tidak pernah dirambah oleh orang kebanyakan.



    Mawlana Jalaludin Rumi
    Oleh Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
    ( Grandson of Mawlana Rumi )“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan,
    Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih
    jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap
    orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih
    yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia
    begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna.
    Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang
    tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan
    mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika
    kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil
    al-Haqqani - Cucu dari Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus
    Turki, September 1998)————————————–Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang
    tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah
    guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat
    yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah
    sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh
    besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan
    kalangan seniman sekitar tahun l648.Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan
    akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di
    zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit
    itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila
    mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu
    yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan
    cepat mereka ingkari dan tidak diakui.Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah
    yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib.
    Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula,
    kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat
    mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam
    agama samawi, bisa menjadi goyah.Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam
    menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan
    yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan
    para budak yang tunduk patuh kepada panca indera.
    Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah.
    Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak
    terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula
    memanjakannya.”Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena
    tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum
    pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan
    selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah
    penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang
    lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang
    tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah
    Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah
    kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.PENGARUH TABRIZFariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi,
    ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun
    pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan
    menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian
    mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30
    September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap
    Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi.
    Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya
    dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal
    sebagai daerah Rum (Roma).Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah
    seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena
    kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia
    digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu
    menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan
    mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin
    ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh
    hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk
    keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima
    tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup
    berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain.
    Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut).
    Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya
    (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap
    di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,
    mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga
    mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama
    yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula
    ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada
    Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan
    pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga
    menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu.
    Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut
    mengajar di perguruan tersebut.Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya
    sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya
    yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga
    menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak
    tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika
    Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul
    para ulama dari berbagai penjuru dunia.Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau
    sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi
    adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah
    yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana
    seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan
    ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu
    berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau
    berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin
    alias Syamsi dari kota Tabriz.Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan
    khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.
    Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi
    Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan
    riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu
    Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat
    pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab.
    Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah
    bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada
    Tabriz yang ternyata seorang sufi.Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku
    ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar
    tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari
    sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski
    sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah
    kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu
    melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan
    Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk
    berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan
    mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi
    penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan
    menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang
    himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams
    Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya,
    dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz.Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi
    baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas
    dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa
    hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair
    yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi.
    Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700
    bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran
    tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk
    apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
    Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya
    tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat
    baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam
    bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang
    metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya
    kepada sahabat atau pengikutnya).Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan
    Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di
    Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para
    Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena
    para penganut thariqat ini melakukan tarian
    berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling,
    dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.WAFATNYA MAWLANA RUMISemua manusia tentu akan kembali kepada-Nya.
    Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya
    tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar
    bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita
    sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih
    menampakkan kejernihannya.Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan,
    “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu
    dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika
    engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan
    bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan
    pahit.”Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember
    1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke
    Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan,
    penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan
    kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai
    Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para
    pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati
    tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.“SAMA”, Tarian Darwis yang BerputarSuatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya
    dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya
    memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan,
    “Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan
    Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga
    berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama
    yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi
    Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud musik
    cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi
    dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang
    menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang
    mengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha
    Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering
    dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan
    minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas solat
    Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota
    Konya.Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji
    Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari
    tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi
    menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika
    gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasuk
    bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau
    Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di
    Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh
    Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh
    Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah
    keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga
    tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak
    kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah
    bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani.Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam
    raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet.
    Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam
    situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan
    khusus pada abad ke tujuh belas. Perayaan ini untuk
    menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi
    dambakan dan ia lukisakna dalam istilah-istilah yang
    menyenangkan.Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar
    menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya.
    Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan
    seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling
    kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang
    sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar
    sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atau
    abu-abu yang menandakan batu nisan.Akhirnya seorang Syaikh masuk paling akhir dan
    menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian balas
    menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah
    menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua
    yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi
    wafat. Syaikh mulai bersalawat untuk Rasulullah saw
    yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik,
    gendang, marawis dan seruling ney.Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya
    maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara
    perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan
    yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran
    ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas
    jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan
    kuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”,
    kelahiran kedua.Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka
    mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran
    tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari.
    Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan
    alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan
    musik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran.Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan
    Sama di auditorium umum di Eropa dan Amerika Serikat.
    Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa
    lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini
    sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau
    perasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan
    gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir
    penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuk
    tangan karena “Sama” adalah sebuah ritual spiritual
    bukan sebuah pertunjukan seni.Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyah
    dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun
    Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian besar
    kebebasannya ketika berada dibawah dominasi
    Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja menungkinkan
    Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai daerah dan
    memperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan
    musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad
    ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi
    anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian dia
    menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu
    dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan
    sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaan
    Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka,
    Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengarh
    diseluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka
    dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal
    di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling
    mereka menyita perhatian public. Selama abad 19,
    sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki
    menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang
    dating ke Turki.Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan
    diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal
    Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua
    kelompok darwis lengkap dengan upacara serta
    pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya
    diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum
    Negara.Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan
    Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan
    Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat.
    Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi
    modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim
    ق mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan
    mengajar agama Islam di Siprus, Turki.Mawlana Syaikh Nazim Adil al-HaqqaniBanyak murid yang mendatangi Mawlana Syaikh Nazim dan
    menerima Thariqat Naqsybandi Haqqani. Selain itu
    beliau adalah pemegang otoritas Mursyid tujuh Tariqah
    Sufi besar lainnya, termasuk Mevlevi Haqqani atau
    Mawlawiyah, Qodiriah, Syadziliyah, Chisty. Namun
    sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan
    karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang
    Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan
    mengumandangkan azan pun tak diperbolehkan.Langkah Syaikh Nazim yang pertama ketika itu adalah
    menuju masjid di tempat kelahirannya dan
    mengumandangkan azan di sana, segera beliau dimasukkan
    penjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh
    Nazim ق pergi menuju masjid besar di Nikosia dan
    melakukan azan di menaranya. Hal itu membuat para
    pejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran
    hukum.Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim ق terus
    mengumandangkan azan di menara-menara masjid di
    seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus
    bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau.
    Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan
    azan, namun Syaikh Nazim ق mengatakan, “ Tidak,
    aku tidak bisa mengehntikannya. Orang-orang harus
    mendengar panggilan azan untuk shalat.”Ketika hari persidangan tiba, Mawlana Syaikh Nazim
    didakwa atas 114 kasus mngumandangkan azan diseluruh
    Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, maka
    beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Tetapi pada
    hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki.
    Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan
    untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih
    menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid-masjid
    dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab.
    Inilah keajaiban yang diberikan Allah swt kepada
    Mawlana Syaikh Nazim.Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap terpelihara
    dan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat
    wisata. Meskipun demikian pengunjung yang datang
    kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan
    wisatawan. Melalui sebuah kesepakatan pemerintah
    Turki, pada tahun 1953 akhirnya menyetujui tarian
    “Sama” Tariqah Mawlawi dipeertontonkan lagi di Konya
    dengan syarat pertunjukan tersebut bersifat cultural
    untuk para wisatawan.Rombongan Darwis juga diijinkan untuk berkelana secara
    Internasional. Meskipun demikian secara keseluruhan
    berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang
    illegal di Turki dan para sufi banyak diburu sejak
    Ataturk melarang agama mereka.Wa min Allah at Tawfiq————————————-Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan“AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan
    makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi
    gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,
    menggemakan ucapan-ucapan kita.”Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan
    Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar,
    melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam
    debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap
    berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis
    Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi
    bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk
    pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis
    yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember,
    jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan
    penjuru angin mereka berarak untuk memperingati
    kematian Rumi, 727 tahun silam.Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah
    menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan
    Islam dan silang sengketa paham? “Dialah penyair
    mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis
    Inggris Reynold A Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi ia
    mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia
    Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt
    mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan
    penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang,
    “Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk
    oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya.” Bahkan, Paus
    Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus:
    “Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala
    penuh hormat mengenang Rumi.”Besar dalam kembaraJalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini
    wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama
    dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh
    tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut
    perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad.Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus),
    dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru
    bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus,
    keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia
    Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin
    Kaykobad.Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada
    Walad, “Kendati saya tak pernah menundukkan kepala
    kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan
    pengikut setia Anda.” Di kota ini ibu Jalaluddin,
    Mu’min Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian,
    dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra
    pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun
    kemudian, keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dari
    Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di
    madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin,
    lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun,
    Bahaudin Walad meninggal dunia.Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan
    Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan
    tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah
    kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan
    tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid
    terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah
    tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin.
    Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan
    latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad
    terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia
    ke Damakus untuk menambah lmu. 8 tahun menggembleng,
    1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi
    pun menggembleng diri sendiri.Cinta adalah menariTahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah
    berada di atas semua ulama di Konya. Ilmu yang dia
    timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan
    Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana
    Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah
    senja Oktober, sehabis pulang dari madrasah,
    seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan
    menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi
    langsung pingsan!Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu
    bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah
    yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’
    atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang
    berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya
    kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz
    itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi
    terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams,
    ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah,
    tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka
    menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat,
    selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup
    tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk
    menuju Cinta Ilahiah.Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya,
    membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga
    membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang
    dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat
    Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu,
    Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar
    mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat
    dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi
    Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil
    memadahkan syair-syair cinta Ilahi. “Tarian para
    darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk
    ratapan Rumi atas kehilangan Syams,” jelas Talat.Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah
    berhenti menari, kerana dia tak pernah berhenti
    mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat
    peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang
    mencintai jadi yang dicintai. (Aulia A Muhammad)